Thursday, April 21, 2011

Aku & Mental Bersyukur by : Natalia Galing ( kumpulan Cerpen )


Tulisan ini adalah tulisan Natalia Galing yang masuk dalam kumpulan Cerpen bersama Sitta Karina. Untuk mendapatkan buku ini silakan mencari ke toko buku favorit di kota kamu.

--------------------------------------

“Pertama kalinya Vanya naik bus kota ke kampus”

“Ayah…” rengekku setengah memaksa, “Ijinin Vanya bawa mobil dong, Ayah…”
Ayah yang sedang membaca koran di ruang rekreasi menggeleng tanpa melirikku yang sudah berakting memelas mengasihankan ini.
Aku langsung cemberut.
Untuk kesekian kalinya oh bukan untuk kesejuta kalinya aku meminta Ayah untuk mengijinkanku membawa mobil ke kampus, namun tetap ditolak juga. Huhu, malangnya nasibku. Nasibku tak hanya semerana itu, maka tiap pulang kuliah aku mesti naik bis kota sampai terminal. Kemudian dari sana aku naik angkot lagi hingga sampai rumah. Capek banget ga sih!
“Kenapa sih? Kenapa Vanya ga boleh bawa mobil sendiri?”
Ayah sama sekali tak mendongak.
“Vanya kan udah delapan belas tahun! Vanya juga udah bisa nyetir. Mobil di rumah ini juga ada dua kan?”
“Mobil yang satu lagi kan dipakai Ibumu…” Akhirnya Ayah menoleh dan mengatakan sesuatu sesuatu yang tidak bisa disebut alasan.
“Ibu kan jarang ke luar…” elakku sambil menoleh pada Ibu yang tersenyum miris.
“Pokoknya Ayah belum ngijinin kamu bawa mobil ke kampus…” kata Ayah.
“Kenapa?” tanyaku setengah esmosi.
Ayah melirikku penuh selidik. “Waktu Ayah seumuran kamu, Ayah jalan kaki ke kampus…”
“Itu kan dulu.” Potongku sebelum Ayah menceritakan kembali masa lalunya yang yang panjangnya bukan main dan tentu saja ditambah embel-embel petuah sebagainya. “Sekarang udah jamannya naik mobil. Vanya ga kuat, Yah, kalo tiap hari naik bus kota. Kemaren aja Vanya hampir muntah karena duduk di sebelah bapak-bapak yang dekilnya minta ampun!! Mana ada penumpang yang pake acara ngerokok segala dalam bus kota yang seseknya minta ampun itu! Vanya kan jadi ikutan kebawa bau nyampe kampus…”
Ayah memijat-mijat dahinya. Dan sebelum beliau berbicara, aku kembali mengutarakan alasan-alasan yang pantas, “Vanya malu sama temen-temen Vanya. Kayak orang miskin aja, mesti naik bus kota segala.”
Ayah melotot. “Pokoknya ga ada alasan lagi, Ayah tetep ga akan ngijinin kamu bawa mobil…”
“Tapi kenapa?”
“Mental kamu itu yang perlu diubah.”
Aku mendengus kesal, melirik Ibu yang sepertinya juga berpihak pada Ayah.
Oke, mental apa lagi sekarang? Apa maksud Ayah aku harus sama seperti Ayah, jalan kaki ke kampus. Oh man, ini jaman apa sih emangnya? Jaman purba? Kalo punya mobil pribadi ngapain mesti naek bus kota?!
Aku memalingkan muka dengan angkuh lalu pergi ke kamar meninggalkan orangtuaku yang pikirannya kolot.
Ya aku tau kalau dulu kehidupan Ayah sebelum menikah sangat sulit. Ayah sering menceritakan masa lalunya sampai aku hafal betul alur dan kata-katanya. Tapi sekarang kan beda! Ayah sudah bisa disebut mapan, dan masa aku sebagai anak tunggalnya tak diijinkan bawa mobil sendiri? Apa kata dunia?



Aku berjalan lesu. Here we go again…
Aku berhenti dan melihat terminal bus yang berada beberapa meter di depanku. Dan aku menatap nanar bus kota yang nantinya akan kunaiki. Aku merenung, satu jam ke depan aku akan mondok di bus itu. Astaga, aku harus melakukan apa? Alternatif lain satu-satunya ialah naik angkot, tapi itu akan menghabiskan waktu dua kali lipat, belum kalau angkotnya ngetem. Hhh…
Aku berjalan tak semangat, masuk ke dalam bus.
Sedikit menimang-nimang saat memilih bangku. Haha, aku lupa, tak akan ada bangku empuk di sini.
Aku duduk di sebelah seorang gadis seumuranku. Belum apa-apa, aku sudah bisa mencium asap rokok yang benar-benar pekat.
Aku menoleh ke belakang hendak melihat siapakah orang yang begitu tega merokok di bus kota yang memang sudah pengap. Aku memergoki seorang om-om yang sedang menumpuk racun di paru-paru dengan begitu nikmatnya. Kalau aku adalah cat woman, dengan beraninya akan kumarahi om-om itu. Tau ga sih kalo perokok pasif lebih dirugikan dibandingkan perokok aktif?? Ah sudahlah…
Bus mulai berjalan dan kondektur juga mulai menagih ongkos. Suasana mulai berisik, beberapa orang ada yang mengobrol kalau menurutku sih mereka seperti sedang teriak atau mengobrol di pasar.
Dasar, Ayah… Apa ini mentalku yang harus diubah?
Beberapa menit selanjutnya, cewek yang duduk di sebelahku sudah tertidur pulas. Astaga, kok bisa sih tidur sambil duduk dan bahkan di tempat sesak begini. Kalo aku sih takkan pernah bisa tidur di tempat beginian.
Sambil mengisi waktu luang, aku pun facebook-an saja, sekalian ganti status. Hmm, enaknya status apa ya? Tiap aku naik bus kota, aku pasti ganti status yang isinya kekesalanku di bus. Dan statusku itu menarik perhatian banyak orang dan memberikan comment. Comment-nya macem-macem, ada yang prihatin, ada yang bilang supaya aku sabar, tapi ada juga yang bilang itu sudah nasibku.
Kalo sekarang aku ganti status tentang bus kota lagi, tentu saja mulai membosankan. Tapi… yang kulakukan saat ini kan… ya duduk di dalam bus kota. Akhirnya aku menulis statusku : “Hari kesebelas dalam bus kota, sama menyebalkannya.”
Setelah kutunggu beberapa menit, tak ada comment sama sekali, hanya Laras yang memberikan comment : “Masih juga naik bus kota? Naik angkot aja, Non… Ato naik motor… nebeng-nebeng…”
Aku membalas comment itu : “Naik angkot lebih lama lagi. Naik motor apaan? Aku ga punya motor.”
Dengan secepat kilat, ratu facebook itu membalas : “Makanya pacaran dong! Cari cowok yang punya mobil ato motor! Kayak gue…”
Ha-ha-ha cari cowok. Aku hanya akan pacaran dengan pria yang benar-benar belum terkontaminasi dengan freesex, rokok dan homosex, kemudian pria itu mencintaiku, harus romantis, pintar dan tampan seperti Kevin Zeagers.
Aku membalas dengan comment : “Haha. Thanks banget buat sarannya.”
Aku menatap layar terpaku. Teman-temanku tak ada yang online. Dengan kecewa karena alat pengalih perhatianku mulai membosankan, aku pun logout.
Beberapa penumpang mulai turun, Sabar, Vanya, dua puluh menitan lagi, bus ini akan sampai di terminal. Sabar…
Saat di lampu merah, seorang pedagang tahu sumedang naik ke dalam bus. Wajahnya kucel, kelihatan kelelahan. Dengan suara yang serak, ia menyeru-nyerukan dagangannya.
“Tahu-tahu… Bacang-bacang…” Ia menghampiriku yang bengong, “Tahunya, De? Seribu..”
Aku menggeleng tak nafsu melihat enam buah tahu yang dikemas dalam plastik.
Dia kembali menjajakan barang dagangannya yang tak ada satupun yang mau membeli. Lelaki setengah baya itu duduk di bangku yang kosong, mungkin ia akan turut dalam bus ini sampai terminal, kan siapa tau di terminal tahu-tahunya itu lebih laku. Yahh, ini sih pikiranku saja.
Karena kurang kerjaan, aku memperhatikan bapak itu. Beliau merapikan tahu-tahunya supaya mungkin sedikit terlihat menarik di mata pembeli. Entah kenapa melihat penampilannya juga pandangan matanya yang kosong, aku jadi kasihan. Aku kembali menatap barang dagangannya yang masih banyak. Aku yang memang punya imajinasi tingkat tinggi, jadi berpikir, apa mungkin ya bapak itu sedang memikirkan istri dan anaknya yang sedang di rumah, yang mungkin saja sedang menunggu beliau pulang dengan membawa rejeki yang cukup untuk biaya hidup mereka. Atau mungkin aku kembali melihat pandangan mata bapak itu bapak itu sedang memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang untuk bisa membiayai uang sekolah anaknya? Oh! ralat SPP sekarang kan gratis. Tapi… kali ini aku benar-benar iba siapa tau kan kalau tahu-tahunya itu tak laku, dia tidak bisa makan? Lagian berapa sih untung dari jualan tahu yang dijual seribu perak? Oke, anggap saja untungnya dua ratus tiap satu bungkus. Dan kalau dikalikan tiga belas bungkus (dengan niatnya aku menghitung barang dagangan bapak itu) maka untungnya akan menjadi dua ribu enam ratus.
Aku menelan ludah. Oh my… Uang jajanku sehari saja dua puluh lima ribu dan terkadang aku masih mengeluh pada Ayah untuk minta uang jajan tambahan.
Kembali aku berpikir, kalau misalnya bapak itu mendapatkan untung yah anggap saja lima belas ribu sehari, apakah itu cukup untuk biaya hidup keluarganya?
Aku pasti mendapatkan hidup yang lebih beruntung dibandingkan yang lain. Dan tidak sepatutnya aku masih mengeluh.
Karena tak tahan, aku memandang ke jalanan saja. Jalanan sedikit macet dan tiga orang anak kecil memandang bus dengan semangat. Dua orang anak lelaki yang berumur enam tahun dan gadis kecil berumur delapan tahunan berlarian masuk ke dalam bus.
Astaga mau apa mereka?
Aku kira anak-anak itu akan ngamen, nyatanya tidak. Mereka masuk dan duduk di dekat pintu. Karena pak supir yang memarahi mereka dan menyuruh supaya mereka duduk ke dalam, tiga anak itu pun duduk di depanku.
Aku memperhatikan tiga anak itu. Mereka pasti sudah selesai mengamen di jalanan ya. Dan sekarang ikut numpang naik bus sampai terminal, kembali ke rumah. Yea mungkin.
Tiga anak itu berpenampilan sedikit kumel dan kotor. Salah seorang dari antara mereka bahkan ada yang hingusan dan belum dilap, sedangkan yang perempuan rambutnya berantakkan.
Kemudian anak perempuan mengeluarkan bungkus snack yang di dalamnya terdengar suara koin. Dan dengan cekatannya, anak itu menghitung uang-uang hasil mengamen mereka. Yahh, karena aku duduk di belakang mereka, jadi aku bisa mendengar dengan jelas gumaman anak itu yang mengatakan dengan semangat kalau jumlah uang mereka ialah delapan ribu empat ratus. Gadis kecil yang punya lesung pipit itu memasukkan uang-uangnya ke dalam saku dengan hati-hati.
Duhh, kepalaku jadi pusing. Aku mulai menghitung kembali, walau konyol. Dihitung-hitung tiap anak akan mendapat bagian dua ribu delapan ratus. Apa itu cukup?
Seperti apa ya kehidupan mereka?
Aku memperhatikan tiga anak itu yang kelihatan wajar, tidak terlihat mengeluh karena uang hasil jerih payah mereka seharian kurang dari tiga ribu perak.
Mengamen ya… Kelihatannya mudah, tapi mungkin juga tidak. Mengamen seharian artinya harus kuat suara, kuat kaki dan kuat mental juga.
Lagi-lagi bertemu kata itu. Mental.
Salah satu anak memanggil bapak penjual tahu. Kelihatannya akan membeli tapi sedikit ragu karena harganya yang seribu perak. Anak itu malah menawar, “Delapan ratus ya?”
Bapak itu mengangguk saja dan langsung memberikan satu bungkus tahu walau dengan bayaran delapan ratus. Mungkin bapak itu juga kasihan.
Sang kakak perempuan mengambil alih tahu itu dan dengan adil mulai membagi-bagikan tahu itu. Mataku tak mungkin salah lihat, tahu-tahu yang tidak menggugah selera makanku, mereka lahap dengan nikmatnya.
Inikah hidup?
Duhh… kenapa aku jadi mellow gini??
Kata-kata Ayah yang mengatakan kalau mentalku harus diubah, terngiang di benakku. Mungkin mentalku yang angkuh, sombong dan tukang ngeluh-lah maksud Ayah. Sepatutnya aku bersyukur dengan semua kelimpahan yang aku miliki. Kalau diingat-ingat, memalukan juga aku bersungut-sungut dengan keadaan bus kota ini, dan bodohnya aku jadikan status lagi di facebook. Padahal masih banyak yang perlu disyukuri dan masih banyak orang yang tetap bersyukur dengan hidup yang pas-pasan.
Hhh…`
Kejadian hari ini meninggalkan bekas yang mendalam di hati. Dalem!
Oke, thanks God, aku masih bisa merasakan hidup yang berkecukupan dan tolonglah tiga anak dan bapak itu supaya mereka juga tetap bisa menjalani hidup dengan semangat.
Aku tersenyum sendiri.
Ayah… Kau memang benar, ada mental yang harus kuubah dalam diriku. Dan kau berhasil menunjukkannya padaku dengan tidak mengijinkan aku bawa mobil ke kampus.
Aku tersenyum kembali. Saat sampai rumah aku akan langsung memeluk Ayah dan Ibu, berterimakasih dan bersyukur.
Aku mendongak melihat jalanan. Aku akan turun di sini, seperti biasa di luar terminal. Dengan cepat aku mengeluarkan dua lembar uang lima ribu. Yang satu aku berikan pada anak-anak dan yang selembar lagi aku berikan pada bapak penjual tahu. Yeah, aku tak perlu membeli tahu atau mendengarkan nyanyian tiga pengamen cilik itu untuk sedikit membantu mereka kan?
Aku pun turun dari bus kota dengan kelegaan yang luar biasa. Hari ini memang luar biasa.
Sambil berjalan masuk ke dalam angkot, aku mengeluarkan handphone, berniat untuk mengganti status facebook.
Kali ini statusnya lebih oke.
“Pertama kali naik bus memang memberi kesan tak mengenakkan. Tapi lama kelamaan aku belajar sesuatu. Berada dalam bus akan mengajarimu sesuatu! Kalau ga percaya silakan coba!”

1 comment:

  1. Ringan, tapi ga ngebosenin. Ga berlebihan dan memberikan efek-efek "senyum sendiri"... Goo job, Galing! :))

    ReplyDelete