Tergesa – gesa aku berlari masuk kamar mandi, menutup pintunya dengan tidak sopan, aku yakin pintu itu menaruh dendam padaku, tapi untuk sekali ini, biarkan aku dengan ketidaksopananku yang lainnya lagi ini, membuang teriakan di sana, dan membuka keran menghambur – hamburkan air yang bayaran setiap bulannya juga semakin mencekik leher. Keresahan ini hanya bisa selesai dengan sebatang rokok terjepit di antara jari telunjuk dan jari tengahku, tidak butuh waktu terlalu lama, hanya untuk membuat ruang ini berasap, aku merokok bagai kereta, lepas satu digantikan dengan batang berikutnya, dan puntung itu berserakan di lantai, hancur berantakan di sapu air yang masih terus mengalir, bentuk ketidaksopananku yang lainnya.
Aku merokok. Seperti biasanya. Tapi, sekarang jauh dari menikmati, bercampur dengan air mata, mana ada rasa nikmatnya lagi ? ditambah batang yang lembab terkena air, bikin capek rahang menghisapi, dan lantas terbuang percuma saja, sama seperti puntung yang lainnya.. sia – sia. Masih jongkok dan menangis, aku mengambil batang rokokku yang terakhir dari dalam saku baju, membakarnya dan seterusnya dihisap, mengeluarkan asap, ritualnya tidak berubah. Tapi, orang lain tidak ada yang pernah tahu, rencanaku selanjutnya, bahkan suamiku sekalipun , yang kerjanya tidak jauh dari kerjaku. Merokok.
Dengan mata nanar yang semakin merah, ditambah air tidak berhenti mengalir, dari kelopak bulat mataku, aku angkat jemariku yang menjepit rokok, dan perlahan aku menempelkan rokok itu tepat di telapak tanganku sendiri, pelan, dan terasa panas yang mulai mencipta geliat dalam jiwaku, menambah porsi airmata yang keluar, aku berusaha untuk tidak berteriak, teriaknya tertelan dalam hati, tapi semakin ujung rokok itu tertanam di telapak tanganku, aku tidak kuasa menahan teriakanku. Aku berteriak kencang. Kencang sekali.. dan berdiri, menghampiri bak mandi, dan mencelupkan telapak tanganku di sana .. berserta aku sekalian..
Terendam di sana, aku membayangkan aku kecil dulu, ketika pertama kali menemukan sensasi dalam hidup, tanpa ada satu yang bertugas menjadi guru, dan tanpa ruang untuk belajar. Itu puluhan tahun yang lalu. Awal mula berkenalan dengan asap.
“ Rara…” panggil ayahku kencang. Aku mendatanginya dengan rona memerah dan senyum mengembang bahagia. aku sudah tidak sabar menantikan suara panggilan itu, hanya merengkuk di balik pintu kamar, dan hanya menunggu.
“ Iya ayah..” kataku basi. Basa – basi aku.
Tanpa melihatku, tangan ayah terjulur di depanku, dengan jarinya mengepit sebatang rokok yang masih terbakar, dank arena ayah tidak melihatku, aku memamerkan senyum paling manisku padanya.
“ Buang rokok ini..” katanya lagi, tapi mata menyebrang terus membaca.
Aha.. aku tidak peduli, kalau ayah tidak menatapku, malah itu yang aku mau, biar aku bebas merasakan sensasi batang yang berasap ini.
Setelah itu sambil membawa puntung rokok, aku berlari kecil ke luar pintu, sedikit berkhianat tidak bertemu dengan tong sampah, tapi merapat di dinding samping yang sempit, hanya muat untuk satu orang.
“ Tempat yang aman..” batinku bicara, aku tidak akan membiarkan kesempatan terbuang percuma, puntung itu, langsung aku kawinkan dengan mulut kecilku, dan lekas menarik asapnya masuk melewati tenggorokanku, keluar lagi dari mulut kecilku dengan bonus desahan. Hanya bisa tiga tarikan, setelah itu.. selamat tinggal, tamat riwayatnya di bawah telapak kakiku. Bahagia rasanya berteman dengan pengalaman yang luar biasa itu, seperti biasanya, untuk menghilangkan jejak, aku mengambil amunisi dari dalam kantong celana, apalagi kalau bukan beberapa buah permen dengan rasa ajaib yang bisa mengecoh rasa sebelumnya dari dalam mulutku.
Aku ingat betul, saat aku berpetualang itu, aku masih kelas tiga SD. Umurku sembilan tahun.
Itu awal, dari persahabatanku dengan asap.
Sejak itu, dia yang paling setia. Tidak ada yang lain, menemaniku menutup peti mati ayah ( tidak ada yang pernah tahu, kalau aku selipkan sebatang rokok di samping jasad ayah, hanya untuk mengakui dosa yang tidak pernah terungkap ). Menemaniku bekerja seharian dengan tumpukan berkas deadline di atas meja, menemani aku bermain dengan buah hati menunggu suami tersayang sampai di pelukan, sampai dengan menemani mulut ibu – ibu kompleks yang asik menguliti kisah teman yang satu dengan yang lain. Begitu mesra persahabatan kami.
“ Berhenti merokok..!! “ seorang lelaki teriak di depan mukaku, mengatai sesuatu, sementara ketika bicara, mulutnya saja bau rokok. Jari yang menjepit rokok yang entah sudah urutan yang keberapa, buktinya jelas. Asbak di atas meja dengan teman – teman puntung di dalamnya. Aku geram melihat lelaki munafik yang berdiri di depanku, aku mengangkat tinggi – tinggi asbak di depanku, dan menyorongkan ke mukanya, aku liat mata liarnya yang meredup, “ Mau aku bantu untuk menghitung berapa puntung yang ada di sini ?? “ tanyaku dengan gigi yang mulai beradu karena marah sebentar lagi memaksa keluar. Seketika itu juga, lelaki itu menghisap rokoknya dan lalu mengambil asbak dari tanganku, menaruh kembali ke atas meja, dan menyatukan puntungnya juga disana.
“ Aku mencintai kamu..” katanya lagi, menarik badanku ke hadapnya, aku membuang mukaku dan melempar paksa badannya ke samping, terhempas ke kursi.
“ Kalau begitu, jangan paksa aku untuk berhenti.. dia cinta pertamaku..” suaraku tegas, tanganku meraih kotak rokok di atas meja, tapi ada tangan lain yang lebih duluan menyambar kotak itu dan membuangnya ke lantai.
“ Apa maumu ? “ muntah sekarang amarahku. Aku tantang matanya, aku tantang mulut bau rokoknya, aku tidak takut. Karena mataku juga jalang, dan mulutku bau, sama seperti miliknya.
“ Aku akan menikahi kamu tanpa rokok..”
“ Kamu tidak akan menikahi aku tanpa rokok..”
“ Sialan, penting amat rokok itu..!!! “
“ Kamu yang sial, tidak ada yang lebih penting dari pada rokok.. kamu juga tidak..” selesai berkata, aku jongkok memunguti kotak di lantai, dan ketika akan bergerak berdiri, ada tangan yang merengkuh bahuku, dan dengan dayanya membenamnya ke dalam bahunya. Sekarang, aroma tembakau itu menjadi satu, dalam liang mulut yang sama, lelaki itu menciumku, sama rasanya seperti dicumbui rokok. Nikmatnya tak bertara. Sementara kotak rokok yang baru saja aku ambil dari lantai, tertawa bahagia dalam pelukanku, ikutan bersahabat dengan lenguhanku.
“ Aku mencintai kamu.. “ lenguhku bersuara juga akhirnya.
“ dan… rokokmu..” penutup yang sempurna.
Maka dinikahinyalah aku dan rokokku.
Sempurna.
Kulitku mengerut dan air mataku bercampur dalam bak mandi, ini kesedihan yang luar biasa mukanya, membuat malu. Tidak sanggup menahan ini sendirian, bagaimana kalau suamiku tahu apa yang sekarang sedang terjadi, sebagai seorang perempuan yang memberikan percuma kaca di rumahnya sendiri. Tangisku semakin kencang. Aku memukuli air di dalam bak mandi ini, nyala keran semakin keras, untuk mengelabui suara tangisku yang sama kerasnya.
Aku masih ingat, hari – hari dengan dua suami : Dia dan rokokku.
Berjalan sempurna, tiada ruang tanpa asap, bahkan asapnya hampir saru dengan asap dari dapur kecilku, merayap juga sampai ke tempat tidur. Buktinya sudah banyak, salah satunya laporan dari pembantu yang mendapati beberapa bolongan dari seprai dan kasurku. Aku pikir itu wajar, tidak ada kesempurnaan dalam hidup, begitu juga merokok.
Dari mulai pengantin baru, kami menikmati hidup yang berasap, diskusi – diskusi sampai tengah malam dengan asbak yang penuh sesak anggotanya, meronta minta dikeluarkan supaya bisa lebih teratur bernafasnya. Ketika asbak jadi baru lagi, mulai lagi anggota berdatangan. Begitu terus.
“ Terima kasih ..” tanyaku suatu malam di pinggir ranjang, dengan jari sebelah kanan tetap menjepit rokok, duduk diatas pangkuannya, sementara yang sebelah kiri melingkari manis lehernya.
“ Untuk apa ? “ pelan tanyanya percis di sebelah telinga.
“ Membiarkan terus aku hidup dengan cintaku yang lainnya..” lelakiku kegelian, ketika aku bicara sambil menyentuh kulit lehernya, ditambah asap di atas kepalanya.
“ Asal janji tidak terlanggar..” ujarnya menghentikan gerakan mulut yang merayapi leher. Aku turun dari pangkuan, berjalan ke jendela kamar, terus berasap, melihat malam jauh ke depan.
“ Aku akan selalu menepati janjiku..” dengan tatapan yang masih terus menerawang, dan mulut yang terus berasap.
Siang sampai sore, aku masih menghukum diri dalam bak mandi ini, aku teriak kencang, “ Aku perempuan yang tidak berguna..!!! taiiikkkkk….”, lamat – lamat aku dengar suara ketukan pintu, mulanya pelan, sampai akhirnya kencang tidak beraturan.
Aku tahu, dia sudah pulang, degup jantung ini berkejaran kian kencang. Aku semakin menenggelamkan kepalaku di dalam air. Aku takut. Aku malu.
“ Ibu, buka pintunya.. ada apa ? “ suaranya panik.
Aku semakin ketakutan, mataku keliaran melihat dinding kamar mandi ini, mencari jalan lain untuk aku bisa keluar dari sini, pergi dan berlari jauh…
Suara lelaki dari balik pintu kamar mandi ini, jadi mengingatkan aku akan suara dalam bisikan di telinga, suara yang isinya sebuah janji.
Suatu malam, ada dua kelingking menjadi satu, janji yang dibalas anggukan kepalaku, ketika rokok harus aku sertakan dalam ikatan cinta ini. Saat itu, aku yakin betul, kalau tidak ada kesulitan sedikitpun menanggung janji itu.
Aku dengan rokokku.
Lelakiku dengan janjiku padanya.
“ Pergi ayah..!! “ aku teriak masih dari dalam bak mandi. Suara ketukan semakin kencang. Beradu dengan tangisan yang juga tidak kalah kencang. Suara ayah memanggili aku, dan mengancam akan mendobrak pintu ini, cukup membuat tanganku maju dan lekas memutar keran air. Airnya berhenti, yang terdengar hanya suara tangisku, suara ayah yang mengetoki pintu dan berteriak.
“ Keluar…!!” teriak dia lagi.
Perlahan aku mengeluarkan badanku dari dalam bak mandi, susah payah, aku keluar dari sana, jatuh dan sekarang badanku merayapi ke arah pintu. Suara ayah, sekarang tepat di samping telingaku, dan ayah juga mendengar jelas isak tangisku.
“ Ayah…” bibirku berujar seraya nempel ke dinding pintu.
“ Ibu..” dia membalas, rasanya suaranya sama paraunya dengan suaraku, apakah di luar sana , dia juga menangis ?
“ Jan..jan..janjin ittuuu..” terbata suaraku, tercekat kerongkonganku, menderu nafasku, tumpang tindih dengan tubuhku yang menggigil, dinginnya super, tapi tidak sebanding dengan rasa sesal atas janji yang terlanggar.
“ Ada apa dengan janjimu ? “ ayah tidak sabaran nampaknya, ..dia ketuki terus pintu itu.
“ Maafkan aku ayah..” isakku kembali meninggi, disambut ketukan yang semakin meninggi juga dari luar pintu. Aku yakin, tubuh ayah sekarang melemas, keliatan dengan suaranya yang menipis, tapi tunggu dulu.. Ya Tuhan, dia menangis.. sumpah, aku tidak pernah tahan mendengar isaknya, seperti anak kecil, biasanya, kalau sudah begini, aku yang akan mengambil kepalanya dan aku benamkan di dadaku, aku peluk dia, dan hangatkan resahnya dengan ciuman di anak rambutnya. Tapi sekarang… aku bahkan takut untuk keluar, aku takut untuk merengkuh tubuh yang nantinya akan membalasnya dengan lemparan menjatuhkan badanku.
Tapi koq, jadi sunyi di luar pintu, hilang semua ketakutanku, dan berganti dengan takutnya yang lain, aku berjuang untuk berdiri, memegang pegangan pintu, memutar kuncinya dan membuka pintunya. Pelan.. dan akhirnya terbuka..
Lelakiku, ada di luar pintu, jongkok sambil merokok, matanya merah, air matanya jatuh deras menetesi wajahnya, aku ikut berjongkok di depannya, sekarang kita sudah berhadapan. Kita berdua diam. tarikan nafasnya kita aja yang kedengeran, begitu juga dengan kumpulan asap yang sudah melingkari di atas kepala. Lelakiku masih dengan matanya yang merah, melihati aku dengan banyak rasa di matanya, “ Ada apa dengan janjimu ? “ matanya jalang dan tajam menusuk hati. Hatiku mulai berdarah, darahnya mengucur membanjiri lantai.
Aku mencuri rokok dari selipan jarinya, masuk dan terkunci di dalam bibir, merasakan asapnya mengaliri kerongkongan, lalu terhembus ke atas. Asapnya ke atas, air mataku turun ke bawah, permukaan mukaku masih lembab.
“ Aku mendapati Rudi merokok di kamarnya..” suaraku pelan dan mataku menatap lantai yang berdarah.
Aku tidak melihat lelakiku, tapi cukup untuk aku tahu, kalau dia pasti marah dan kecewa, tangisnya cukup menjelaskan semuanya itu.
“ Kamu pernah berjanji, untuk menjaga jangan sampai asap itu tertular pada benihmu.. cukup kita, jangan mengajak mereka, tapi ternyata… dia ikut merokok juga..” suaranya bercampur isak. Aku merayap mendekatinya dengan baju yang penuh lumuran darah, darah yang dari hati penuh luka, aku angkat telapak tanganku yang luka karena sundutan rokok, telapak itu aku dekatkan ke pipinya, masih menangis, aku lekatkan sekarang, telapak tanganku pada bibirnya, “ Maafkan aku ayah.. “, Matanya masih merah, tapi tanganku tertangkap oleh tangannya, diciuminya terus telapak tangan yang sekarang sudah rusak itu. Aku juga mencuri rokok dalam selipan jarinya dan melempar jauh ke dalam kamar mandi.
“ Itu rokok kita yang terakhir.. Janji ?? “ kataku dalam tangis yang lebih memuncah.
Aku memberikan kelingkingku, yang disambut oleh kelingkingnya.
The end.
( untuk teman yang sekarang sudah mengharamkan rokok…selamanya.. )
No comments:
Post a Comment