Salah seorang teman pernah bertanya pada saya, “Bagaimana caranya saya bisa dengan mudah memaafkan seseorang?” Singkat cerita seperti ini, teman saya itu pernah sangat dikecewakan seseorang yang dia panggil sahabat. Notabene orang itu dulu pernah saya panggil sahabat juga.
Saya juga pernah berbagi banyak hal dengan orang itu, pernah yakin bahwa dia adalah orang yang paling bisa saya percaya. Walau akhirnya kami berdua kecewa, karena ternyata kami memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi pada dia.
Yang berbeda dari kami adalah saya memaafkan terlebih dulu. Sementara teman saya itu hingga saat ini masih menyimpan rasa kecewanya, bahkan hal ini berdampak cukup besar buat dia. Mulai dari membuat mood nya naik turun, skripsi agak terganggu (sangat terganggu malah), sampai dia merasa dirinya yang salah dan menjadi lebih sulit untuk memaafkan dirinya.
Waktu akhirnya saya berpikir apa yang bisa membuat saya bisa lebih mudah memaafkan, jujur saya juga tidak terlalu tahu dengan pasti alasannya. Saya kecewa, iya. Saya merasa dibohongi, iya. Karena sudah sejak lama juga saya tahu bahwa banyak ketidakjujuran dari orang itu. Saya kesal,itu juga iya, terutama karena dia bisa masuk begitu dalam ke kehidupan pribadi saya tapi saya sama sekali tidak tahu banyak tentang dia. Saya bingung, itu apalagi. Karena akhirnya saya bingung, sebenarnya saya dianggap sebagai apa oleh dia.
Tapi toh akhirnya, saya berani untuk memaafkan terlebih dulu. Bahkan lebih dari sekedar memaafkan, saya juga tetap mengulurkan tangan saya waktu dia minta bantuan, menyediakan telinga saya untuk mendengarkan ceritanya lagi. Meskipun sedikit membatasi diri untuk tidak terlalu membagi hidup saya lagi dengannya.
Teman2 saya yang lain bilang saya terlalu naif, mungkin ada yang bilang saya bodoh karena masih bersikap baik pada orang yang jelas2 jahat sama saya. Mereka juga bilang bahwa saya bisa saja akan kembali kecewa bahkan bisa lebih parah.
Saya cuma mau bilang teman, saya ini bukan malaikat. Saya juga pernah merasa sakit hati, merasa kecewa, merasa bodoh karena menganggap orang itu sahabat. Tapi saya akhirnya memilih untuk memaafkan. Satu yang saya pelajari bahwa memaafkan adalah pilihan. Memaafkan bukan kewajiban, bukan tuntutan tapi sebuah pilihan. Dan kalau orang tanya bagaimana saya bisa dengan mudah memaafkan, saya akan jawab bahwa hal itu bukanlah hal yang mudah. Saya tetaplah bukan malaikat. Tapi saya belajar dari pribadi yang memberikan teladannya langsung tentang memaafkan.
Ya, saya belajar dari Bapa saya di surga. Saya juga mengalami pengampunan yang tanpa syarat. Saya mengalami kasihNya bahkan sebelum saya mengenal Dia. Saya tetap dipercaya olehNya meskipun saya seringkali mengecewakan Dia. Dan yang paling hebat yang saya alami, Dia bahkan mau mati buat saya tanpa saya minta.
Kalau Dia saja bisa melakukan hal2 hebat itu, kenapa saya tidak? Saya kan anakNya. Saya bukanlah malaikat yang bisa baik banget sama semua orang, saya hanyalah seorang anak yang mau belajar menjadi serupa seperti Bapanya. Dan entahlah, pada akhirnya pengampunan itu bisa dengan mudah saya berikan.
So, kalau ada yang tanya, bagaimana saya bisa dengan mudah memaafkan, jawabannya sederhana, karena saya belajar langsung dari Bapa saya.
Saya juga pernah berbagi banyak hal dengan orang itu, pernah yakin bahwa dia adalah orang yang paling bisa saya percaya. Walau akhirnya kami berdua kecewa, karena ternyata kami memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi pada dia.
Yang berbeda dari kami adalah saya memaafkan terlebih dulu. Sementara teman saya itu hingga saat ini masih menyimpan rasa kecewanya, bahkan hal ini berdampak cukup besar buat dia. Mulai dari membuat mood nya naik turun, skripsi agak terganggu (sangat terganggu malah), sampai dia merasa dirinya yang salah dan menjadi lebih sulit untuk memaafkan dirinya.
Waktu akhirnya saya berpikir apa yang bisa membuat saya bisa lebih mudah memaafkan, jujur saya juga tidak terlalu tahu dengan pasti alasannya. Saya kecewa, iya. Saya merasa dibohongi, iya. Karena sudah sejak lama juga saya tahu bahwa banyak ketidakjujuran dari orang itu. Saya kesal,itu juga iya, terutama karena dia bisa masuk begitu dalam ke kehidupan pribadi saya tapi saya sama sekali tidak tahu banyak tentang dia. Saya bingung, itu apalagi. Karena akhirnya saya bingung, sebenarnya saya dianggap sebagai apa oleh dia.
Tapi toh akhirnya, saya berani untuk memaafkan terlebih dulu. Bahkan lebih dari sekedar memaafkan, saya juga tetap mengulurkan tangan saya waktu dia minta bantuan, menyediakan telinga saya untuk mendengarkan ceritanya lagi. Meskipun sedikit membatasi diri untuk tidak terlalu membagi hidup saya lagi dengannya.
Teman2 saya yang lain bilang saya terlalu naif, mungkin ada yang bilang saya bodoh karena masih bersikap baik pada orang yang jelas2 jahat sama saya. Mereka juga bilang bahwa saya bisa saja akan kembali kecewa bahkan bisa lebih parah.
Saya cuma mau bilang teman, saya ini bukan malaikat. Saya juga pernah merasa sakit hati, merasa kecewa, merasa bodoh karena menganggap orang itu sahabat. Tapi saya akhirnya memilih untuk memaafkan. Satu yang saya pelajari bahwa memaafkan adalah pilihan. Memaafkan bukan kewajiban, bukan tuntutan tapi sebuah pilihan. Dan kalau orang tanya bagaimana saya bisa dengan mudah memaafkan, saya akan jawab bahwa hal itu bukanlah hal yang mudah. Saya tetaplah bukan malaikat. Tapi saya belajar dari pribadi yang memberikan teladannya langsung tentang memaafkan.
Ya, saya belajar dari Bapa saya di surga. Saya juga mengalami pengampunan yang tanpa syarat. Saya mengalami kasihNya bahkan sebelum saya mengenal Dia. Saya tetap dipercaya olehNya meskipun saya seringkali mengecewakan Dia. Dan yang paling hebat yang saya alami, Dia bahkan mau mati buat saya tanpa saya minta.
Kalau Dia saja bisa melakukan hal2 hebat itu, kenapa saya tidak? Saya kan anakNya. Saya bukanlah malaikat yang bisa baik banget sama semua orang, saya hanyalah seorang anak yang mau belajar menjadi serupa seperti Bapanya. Dan entahlah, pada akhirnya pengampunan itu bisa dengan mudah saya berikan.
So, kalau ada yang tanya, bagaimana saya bisa dengan mudah memaafkan, jawabannya sederhana, karena saya belajar langsung dari Bapa saya.
No comments:
Post a Comment