Monday, June 20, 2011

UNTITLED - PART II by : Elfriska Sihombing


RINDU LINA dan CINTA LAMA


…LINA.

LINA..??

LINA DRAJATTTT ??!


“LINA DRAJAT!” sentakku lantang sambil melompat ke arah tempat tidur mungilku.

Kuhempaskan dengan bebas tubuhku yang mungil di tumpukan bantal yang belum tersusun rapih sedari tadi pagi aku bangun. Seraya mencari posisi ternyaman untuk mencerna isi kartu yang dikirim oleh sahabat lamaku, senyumku terus terumbar lebarrr, tak percaya (coba bayangkan ‘senyum lebar tak percaya’!). Tiga tahun sudah aku kehilangan batang hidungnya!

Sapaan nakal pertama yang tertera dalam kartu tersebut adalah “Halo, jelekkk…!”. Sedikit gusar, namun tak kuasa menahan tawa, aku terus melanjutkan kalimat demi kalimat yang terurai panjang dalam ukuran kecil. Bukan Lina namanya kalo sempat tulisan tangannya tidak mirip kuman. Mungkin, matahari sudah terbit dari barat jika seseorang mendapati tulisan Lina tersurat dalam ukuran yang biasa dipakai dalam surat resmi, 12 (Ctrl+shift+p)!

Kartu biru yang ‘lucu’ (begitu kata kebanyakan ABG , Anak Baru Gede, cewe mendeskripsikan suatu barang yang bagus) itu cukup menjelaskan betapa dalam rindu wanita berambut lurus-hitam-tebal-bersinar (sirik) itu kepadaku. Di kartu itu juga, Lina seakan melotot dan sewot karena aku tidak mengabarinya perihal nomor baru ponselku. Aku terharu-gembira lantas baru menyadari, ternyata rasa rinduku juga telah begitu kronis, dan mengalami periode laten sampai-sampai aku lupa kalo aku sempat punya perasaan itu.

Singkat cerita, kami memang loose contact sejak aku kejambretan dan dengan lapang dada harus menerima kenyataan bahwa ponsel yang kupegang sekarang telah jatuh kasta, dari Brahmana menjadi Sudra (yang penting bisa berkomunikasi dengan orang lintas-tempat).

Namun, sebenarnya Lina tidak sah berkata (‘bertulis’) semelotot dan sesewot itu terhadapku. Kami memegang andil masing-masing dalam hilangnya komunikasi ini. Aku sibuk dengan perkuliahanku di kota baru yang sangat asing bagi diriku dan dia sibuk dengan perkuliahan-perorganisasian-perbisnisannya di kampung halamannya, Jakarta. Ya, selulus SMA kami berpisah dan sama-sama meninggalkan Paris Van Java, kota yang telah menorehkan selaksa kenangan. Kota yang merupakan saksi bisu persahabatan kental antara dua anak remaja, aku dan Lina.  

Tidak terasa ternyata telah begitu lama aku lupa bahwa di belahan bumi yang lain, aku memiliki seorang sahabat. Mungkin, Lina juga. Apalagi saat itu, Lina sedang dekat dengan seorang pria dan aku dengan…

Huft! Jadi inget lagi, deh...”.

***

PETRA, Si PRIA RUGI YANG MALANG

Aku tidak yakin apakah judul diatas cukup tepat untuk mewakili sepenggal kisah ini.

Entah mengapa, nampaknya berusaha melupakan seseorang justru semakin membawa diriku terhisap ke dalam pusaran kisah yang sudah setahun ini ingin aku hempaskan. P-E-T-R-A. Aku berharap aku mengalami amnesia parsial irreversible dimana aku lupa akan secuil bagian saja dari kehidupanku dan tidak dapat pulih kembali.

Silahkan kategorikan aku sebagai wanita lugu atau klasik (biar terdengar lebih berharga) yang akan jatuh hati dengan ‘serius’ pada seseorang yang sempat mencuri hatiku. Dengan kata lain, pria beruntung yang menyia-nyiakan aku seperti Petra, telah sangat berani mengambil langkah besar untuk melakukan hal itu terhadapku. Dia rugi, titik!

Setelah kepergiannya ke Jerman tiga tahun yang lalu, aku pikir kami akan baik-baik saja. Ada telepon atau email yang akan selalu menjadi penghubung antara cinta-‘gila’ku dan (kuharap) cinta-‘gila’nya. Namun, nyatanya romansa cinta antara aku dan mahasiswa jurusan teknik elektro ini tidak berakhir layaknya dongeng-dongeng yang kubaca sewaktu aku masih duduk di bangku SD. Akhir cerita antara aku dan Petra lebih mirip bungkus gorengan yang akhirnya ringsek terbuang dan rusak terinjak orang yang lalu-lalang, terlindas gerobak bakso, dan dihempas angin malam! TRAGIS.

Melakoni long distance relationship ternyata tidak semudah yang aku pikirkan. Menyesal aku pernah mendambakan hubungan semacam ini, dulu, waktu aku masih ABG. Aku pikir dengan hubungan cinta jarak jauh, aku bisa menjadi lebih fokus meraih mimpi dan cita-citaku, tanpa harus terlalu banyak menggunakan waktu untuk pacaran. Sekarang, aku nelangsa.

Anganku untuk Sang Sutradara mereleasekan sequel cerita antara aku dan Petra hanya doa yang nampaknya hilang di udara. Apa lagi, akhir-akhir ini, cuaca di Bandar Lampung mulai sering hujan. Mungkin sekali doa-doaku untuk Petra belum sempat mengudara karena tetes-tetes air hujan terlanjur melunturkan tintanya. Namun, aku tetap bertepuk tangan (sambil berdiri) untuk perjuangan kami selama dua tahun, dimana saat itu, kami masih bernaung dalam suatu ikatan resmi. Aku-pacar-Petra, Petra-pacar-aku.

Itu sangat-tidak-mudah-banget!

*sigh


Pada akhirnya, memang Tuhanlah yang tahu mana yang terbaik. My way is not Thine…

“… I know we had some good times
It's sad but now we gotta say goodbye

… you know I love you, I can't deny
I can't say we didn't try to make it work for you and I
I know it hurts so much but it's best for us
Somewhere along this windy road we lost the trust
So I'll walk away so you don't have to see me cry
It's killing me so, why don't you go

… why don't you go your way

And I'll go mine
Live your life, and I'll live mine
Baby you'll do well, and I'll be fine
Cause we're better off, separated”
-Separated, Usher-

Tiba-tiba saja terbesit sebuah lagu di liang-liang telingaku. Tak kusadari setetes air mataku turun membasahi kartu biru yang sejak tadi kupegang.

KARTU BERGAMBAR ES KRIM

Aku menarik napas panjang dan mengalihkan segenap perhatian yang sempat meliku pada kata demi kata yang Lina sampaikan secara efektif dan sistematis di dalam kartu. Lina mengabariku bahwa ia memperoleh alamatku dari ibu, sewaktu mereka berpapasan di food court rest area jalan tol Cipularang tiga minggu yang lalu. Terhimpit dalam ketergesa-gesaan, Lina harus puas dengan kartu nama usang yang ibuku berikan, dimana si dalam kartu nama itu, nomor ponselku yang tertera adalah nomor ponsel ‘Brahmana’ yang raib, hilang diambil orang.

UPIK SELALU SETIA

Sebut saja Upik fanatik, namun memang dialah satu-satunya pengagum setiaku yang tidak hanya memberikan aku berbagai macam hadiah romantis, tapi juga membuatkan aku kartu nama (beri tepuk tangan yang meriah)! Mungkin ada benarnya, kalo teman-teman SMA-ku mengatakan bahwa ambang batas bawah kepekaanku akan radar cinta kaum adam begitu tinggi. Sampai-sampai, aku sulit menyadari apabila ada seseorang yang mulai memberikan perhatian lebih padaku---bukan sebagai seorang teman. Upik bukanlah satu-satunya pria yang tak pernah kusangka menaruh hati pada makhluk kecil serabutan, seperti diriku.

KEDATANGAN LINA

Bagian yang paling mengejutkan dari isi kartu yang Lina kirim adalah saat ia mengatakan bahwa ia berencana untuk datang ke Bandar Lampung pada bulan November untuk mengantar kekasihnya- Theo, yang baru saja dipindahtugaskan ke Bratasena. Bratasena adalah kota kecil di dekat laut yang berjarak kurang lebih empat jam dari Bandar Lampung. Yihaaa!  Rasa senangku sekonyong-konyong melambung kian tinggi. 

Akhirnya, ­­­paragraf-paragraf yang dituliskan pun Lina berakhir dengan ..

Pokoknya sampai ketemu bulan depan!

PS: Kabarin gw secepetnya kalo paket ini udah nyampe di tangan lo.
        08113999053!

                                                              Love,
                                                              Nenek.


Nenek adalah nama sayangku untuk Lina.
Cihuyyy!” spontan aku mencuat berdiri.
I bet we’re gonna have fun and go mad!

LINA SI SERBA BISA dan INEZ SI SERBA ASIK

Aku, kemudian menghampiri paket kiriman yang datang bersama dengan kartu Lina. Dengan riweuh (bahasa Sunda untuk heboh), aku membuka bungkusan kotak yang dengan rapih dibungkus oleh Lina Si Serba Bisa.

Sekedar informasi, Lina outstanding dalam banyak hal. Lina dapat membungkus kado dengan rapih, ia ranking 1, ia bisa membuat kue, ia bisa berenang, ia bisa menjahit, ia bisa memimpin, ia bisa berdagang, ia bisa semuanya dan punya semuanya, karena Lina tajir. Namun, ada satu hal yang rasanya sulit untuk Lina lakukan. Ia tidak bisa menyadari kalo dirinya kerennn! Sifat perfectionistnya mengukungnya untuk sering merasa tidak puas.

Lain halnya dengan aku, Inez Si Serba Asik. Aku tidak bisa semua hal dan aku bukan ranking 1. Naik kelas, pada akhirnya selalu menjadi suatu momentum yang mengharukan bagi aku dan keluargaku. Itulah sebabnya, merupakan suatu respon yang wajar apabila segelintir orang heran akan penerimaanku di fakultas kedokteran. Akan tetapi, terlepas dari semua penilaian orang tentang diriku, ibuku selalu mengatakan; asal aku tekun, sebenarnya aku adalah anak yang cerdas. I AM!

Love you, Mom!

Menurut sekumpulan ibu-ibu di sekitar lingkungan rumahku, aku adalah sosok yang menyenangkan dan ramah. Ingatanku pun terhanyut pada masa-masa nyaman sebelum petualangan anak rantau ini dimulai. Aku teringat akan wajah-wajah tukang bakso, tukang sayur, ibu warung di depan rumah, dan tukang becak yang selalu menjadi objek tingkah-langkahku yang usil. Hal ini juga tercermin dalam kancah sepermainan anak-anak di lingkungan rumahku. Absennya aku akibat sakit ternyata cukup berpengaruh terhadap gambaran grafik tingkat kebisingan di areal komplek ‘MERDEKA’. Frekuensi kehadiranku ternyata berbanding lurus dengan desibel bising suara yang menyeruak di kawasan pemukiman pinggir kota itu.

PAKET IMPIAN

Seraya menerka isi dari paket kejutan Lina, aku terus melepaskan selotip-selotip yang terpaksa harus melecetkan kotak pembungkus dari paket Lina tersebut. Dan akhirnya, selotip terakhirpun mengantarkan pandanganku pada isi dari paket misterius itu. Seperti ingin pingsan rasanya, mengetahui apa yang ada dalam bungkusan rapih yang dikirim Lina untukku.

KAMERA SLR !!!!!!

kapan ya gw punya kamera SLR...?

“Linaaaaa…” sambil bersimbahan air mata dan terbujur kaku. Kucubiti pipi kanan dan pipi kiriku. Sakit.  
Bagus, ini benar-benar kenyataan! Hari ini, genap sudah dua kali Si Serba Bisa membuatku “Kaget-Tak-Berdaya”.  
You know me so well!
Can’t stand too meet you soon, Lin.. >_< misss youuuu.

Sementara itu, dari lantai bawah…
Woiii, udah jam 4 nih… yang ga jadi  nya kau bimbingan,Nez? ” teriak Uli, teman satu kostku dengan logat Bataknya.
“Wadow! Lupa gwww! Makasih, Li!” Aku segera meletakkan kamera single-lens reflex ‘bukan-mimpi’ itu di atas meja belajarku dan segera bergegas mandi.

***

Begitulah kronologisnya sampai aku dan Lina dapat kembali menjalin komunikasi yang sempat kandas ditelan segudang kesibukan dan kehidupan baru di tempat yang berbeda. Aku di Bandar Lampung dan Lina di Jakarta. Sejak hari itu, aku dan Lina terhubung melalui dua provider telepon selular yang sama dalam tarif yang bersahabat.

BUAH SEBUAH KERJA KERAS
17 November 2010

Kesibukan skripsi benar-benar mengalihkan duniaku. Namun, tak mengapa… Hari ini toh usaha kerasku membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Aku menyelesaikan seminar hasil dari penelitianku dengan baik dan memperoleh nilai A! Let’s have a new flavor ice cream and watch movie as a reward!

Nez, hape lo bunyi!” teriak Meri dari lantai bawah, tempat aku menggeletakkan ransel hitamku sepulang seminar tadi.

Iya, bentarrr…” jawabku cepat sambil meletakkan mangkuk berisi es krim rasa pisang yang sudah lama ingin aku cicipi. Dengan terpaksa aku meng-klik tombol pause sambil menggerutu kesal karena adegan film yang kutonton sedang menyuguhkan klimaks ceritanya! Setelah sekian lama akhirnya si tokoh utama menemukan rumput hijau kesukaannya (rumput??).

Aku sedang menonton film kartun “Reynold, The Donkey”.

***

WELCOME, LINA!

Aku bergegas menuruni tangga sempit yang sekat atapnya selalu membentur dahiku bila aku grasak-grusuk karena terlambat ke kampus. “Ouch!” sekali lagi jidatku harus memerah dan menampilkan sensasi denyut berkesan yang sudah tidak asing lagi. Tanpa berlama-lama, aku pun segera melanjutkan perjuangan meraih ponsel yang kira-kira masih berjarak kurang lebih tiga meter lagi setelah puas memukul tembok yang selalu mengganggu aksi hebohku menuruni tangga.

Kulihat nama yang tertera di layar ponsel ‘Sudra’ku. LINA!

Oi, Liiiiin! Dah nyampe mana??” tanyaku tanpa menggunakan kalimat pembuka dan segera melanjutkan, “Sori, tadi pagi telepon lu ga gw angkat! Gw lagi seminar..

Pantes! Iya, gapapa..” sapa suara di seberang telepon dengan tenang. “Ni gw dah di Branti. Hotelnya masih jauh?

Wah, cepet juga! Ga nyangka gw. Biasanya penerbangan dari Jakarta ga pernah tepat waktu! Gw jemput ya sekarang!” cetusku sigap.

Lu ada kendaraan?” tanya Lina tak mau merepotkan.

Adaaa..! Pokoknya beres deh! Lu tunggu aja ya… Gw langsung siap-siap trus berangkat nih!

Sip..sip! Buruan ya, gw dah laper… Bawa gw ke tempat makan paling enak di Bandar Lampung!

Siap, boss! Yang penting cowo lu yang bayarin! HAHA!

Dasar lo! Buruan!

Ok, see ya..!
Tut..tut..tut.

Akhir pembicaraan di telepon selalu berbunyi tut..tut..tut. Kasihan Tuti… Aku segera menuju kamar Uli dan mengetuk pintunya, “Liii, buruan panasin mobil! Kita jemput temen gw di bandara!

Uli berteriak dari dalam kamar dengan nada tersinggung, tak terima diperlakukan bak supir pribadi.
Bagus kali gayamu, Nez! Macam supirmu aja kau buat aku ya! Gak mau aku!!

Ternyata pintu reot kamar Uli mendongak, tidak terkunci. Aku pun bersegera masuk dan menghampiri Uli yang tengah asyik menikmati komik barunya di tempat tidur.

Hehe.. sori deh, Li. Khilaf gw. Kita kan sahabat, sudah dekaaatttt…” kataku sambil memijat kaki Uli yang terjulai selonjoran dan memasang wajah paling memilukan yang selalu aku andalkan jika aku berniat meminta pertolongan.

Anggo ho nian..molo adong na di roham, laos didokkon ho ma au sahabatmu! Aha ma tu ahu?
(Bahasa Indonesia: Kalo ada aja kepengen lo, langsung deh manggil gw sahabat, trus… gw dapet apa dong?)

“Hehe..apa ya.. O,iya! Nanti pulangnya kita makan malem gratis dehhh, dibayarin pacarnya temen gw! Gimana?”

Uli menimbang-nimbang tawaran menggiurkan yang aku lontarkan sambil memutar bola matanya seperti arah jarum jam. Tak mau merugi, Uli pun mengiyakan dengan satu syarat tambahan.

OK! Tapi kau yang isi bensin mobilku ya” tatap Uli cilik sambil menyipitkan kedua bola matanya dan tersenyum lebar tanpa menunjukan gigi-geliginya. Rasanya itulah senyum paling lebar yang pernah Uli publikasikan.

Iya deeeeh…masalah bensin mah gampang! Buruan siap-siap, Ijah!” ujarku sambil memukul pantat Uli dan segera berlari kabur ke luar kamar.

Awas kau, Nez!” bentak Uli kesal sambil mengusap pantatnya yang kesakitan.

1 Jam kemudian. Di Bandara.

Sembari celingak-celinguk, aku dan Uli menyisiri seluruh sudut bandara yang pada saat itu nampak tak begitu ramai dengan pandangan tajam. Selagi Uli terus memantau keberadaan Lina seturut dengan deskripsi yang aku jabarkan saat perjalanan ke bandara, aku menghubungi nomor ponsel Lina.

Beberapa saat kemudian di saluran telepon.

Lin! Gw dah sampe nih. Posisi lu dimana?
Oh, gw di cafeteria samping toko souvenir
OK, gw kesana!”. Tut..tut..tut.

Tidak berapa lama, aku dan Uli sampai di cafeteria yang Lina maksud. Dari pintu masuk cafeteria aku melihat seorang wanita berambut ‘lurus-hitam-tebal-bersinar’ yang berdiri membelakangiku sambil menoleh ke satu arah seperti sedang menunggu kedatangan seseorang. Uli yang juga menyadari keberadaan seseorang yang sangat mirip dengan deskripsi yang aku sampaikan, spontan berujar, “Itu bukan?” sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah wanita yang beberapa detik yang lalu memang menjadi objek perhatianku.

Ternyata, suara Uli yang cukup keras, terdengar sampai ke telinga wanita yang nampaknya tengah terhimpit di antara troli barang yang begitu penuh dan sesak. Kemudian, wanita itu memalingkan wajahnya ke belakang dan mengakhiri pencarian yang sejak tadi aku dan Uli lancarkan.

Inez!” sapa wanita itu lantang.

Neneeekkk!” teriakku sambil berlari menghampiri Lina yang malam itu begitu memesona dengan syal hijau tuanya. Lina tidak berubah. Ia tetap selalu terlihat cantik, bahkan saat ia baru saja bangun tidur atau seharian beraktivitas. Kami pun membuka pertemuan itu dengan saling berpelukan seraya menggoyang-goyangkan tubuh kami ke kanan dan ke kiri beberapa kali.

Tambah cantik aja lo, Lin! Curang” ujarku sambil merusak tatanan rambutnya.

Haha! Lo juga tambah ancur aja! Gimana sih ni bu dokter… Gaya lo masih aja kaya anak seni rupa!

Wakakakkk…! Be te we, kenalin ini Uli! Li, ini Lina..”

Uli yang sempat menjadi pajangan bernapas untuk beberapa waktu pun mengulurkan tangannya dan saling bersalaman dengan Lina. Sambil mengucap syukur atas kepekaan yang Tuhan berikan pada aku dan Lina, Uli tersenyum maklum.



“Oia, mana Theo?” tanyaku menyadari ada yang kurang pada pertemuan kali ini.

Dia lagi ke WC. Eh.. tuh dia!” sahut Lina sambil mengarahkan dagunya ke arah belakangku.

Aku membalikkan tubuhku dan tak sabar ingin melihat siapa gerangan pria yang beruntung memperoleh cinta Lina, Si Serba Bisa.

Sesosok pria bertubuh tinggi dan berjaket hitam semi-formal mendekat ke arah aku, Lina, dan Uli. Gerakan langkahnya begitu lambat dalam pandanganku dan seolah-olah telingaku tiba-tiba tertutup ear plug lantas tak dapat mendengar keriuhan orang-orang di sekelilingku.


2 detik kemudian

WHAAAAATTTT ???!

Aku melongo tak percaya dengan apa yang mata kepalaku saksikan. Ternyata aku butuh dua detik untuk menyampaikan sinyal-sinyal rangsang cahaya yang ditangkap kedua bola mataku melalui jaras-jaras saraf sensorik untuk mencapai reaksi motoriknya.

Pria itu… 


To be continue..

No comments:

Post a Comment