Monday, May 10, 2010

tangisan seorang mama... by. kristin natalia


Kebahagiaanku adalah melihat putra-putriku menikah. Semuanya sudah terjadi, putra-putriku sudah menikah dan memiliki keluarga yang baru. Rasa lega ada dalam benakku. Aku rasa, aku telah berhasil mendidik mereka soal kehidupan, sekarang saatnya bagi mereka untuk mempraktekkannya dalam keluarga mereka. Putra pertamaku Donny seorang yang sangat manja berbeda dengan kedua saudaranya yang lain Mike dan Gina. “Apakah dia akan tetap manja walaupun sudah menikah ? tanyaku dalam hati. Berbeda dengan Mike putra keduaku. Ia adalah seorang yang mandiri. Sejak dmasa kuliah Mike sudah jauh dari keluarga, ia memilih untuk kuliah diluar kota (Surabaya). Lain pula dengan Gina, satu-satunya anak perempuanku. Ia sangat cuek sekali. “Penampilan ? tidak usah dibuat ribet” Jawab Gina jika kukomentari soal gaya busananya.

Putraku Donny menikah dengan seorang gadis yang anggun. Lembut tutur katanya. Sikapnya cantik secantik parasnya. Rumah dan sebuah mobil, aku dan suami hadiahkan untuk pernikahan mereka. Ditahun yang sama, menantuku (Sinta, Red) mengandung anak pertamanya, yang berarti cucu pertama dalam keluargaku. “ Aku akan menjadi seorang nenek !!” ungkapku bahagia. Kunanti selama sembilan bulan, dengan harapan dia adalah seorang jagoan kecil. Kelahirannyapun tiba, tak hanya Donny yang khawatir, tapi seluruh keluargaku. “ oe oe tangisnya memekik, menggantikan suasana tegang menjadi penuh senyuman”. Seorang putri mungil cantik telah lahir, kami namai dia Dewi. Kebahagiaanku tak berkurang walaupun dia bukan seorang laki-laki. Untuk beberapa bulan kedepan aku minta Donny dan Sinta serta putri kecilnya tinggal dirumah.

Aku sangat menyanyangi Dewi. Aku mandikan, aku beri makan, aku manjakan. “Akan kuberikan semua yang terbaik bagimu cucuku” ungkapku pada Dewi. Dewi bertumbuh besar, ia sangat manja. Mungkin ia tahu, ia adalah cucu pertama bahakan anak pertama dari orangtuanya. Selama satu tahun mereka tinggal dirumahku dan setelah itu menempati rumah barunya.

Dua tahun kemudian, aku dengar Sinta mengandung anak kedua. Saat itu, aku sedang sibuk mempersiapkan pernikahan putra keduaku. Mike mendapatkan seorang gadis yang cukup mapan. Kehidupan gadis (Lidya, Red) itu glamour, ia baik namun sedikit pendiam dan sepertinya sulit untuk bergaul. Sejak mereka menikah rumahku semakin sepi, hanya aku, suami dan anak perempuanku. “Diapun akan segera menyusul” ungkapku dalam hati. Berbeda dengan Donny dan Sinta, menantu keduaku harus menunggu beberapa tahun untuk mendapatkan seorang anak. Cemas bercampur harap dalam pernikahan mereka agar segera mendapat momongan. Setelah Sembilan bulan akhirnya Sinta memberiku cucu kedua, ya seorang putra kecil namanya Edo. Bersyukur, memasuki tahun ketiga dalam pernikahan mereka, akhirnya Lidya mengandung. Selama Sembilan dua minggu Lidya mengandung, dan ia melahirkan seorang jagoan kecil bernama Beno.

Lengkaplah kebahagian mereka, demikian juga denganku. Ya tinggal giliran anak perempuanku. Setelah kelahiran Beno, Lidya jadi berubah. Ia lebih ceria dan bergaul akrab dengan keluargaku. Mike dan Lidya terbilang mapan dalam hal ekonomi. Saat itu Mike menjabat sebagai General Manager disalah satu perusahaan IT di Jakarta. Sedangkan Lidya dipercaya untuk mengelola salah satu usaha kos-kosan milik ibunya didaerah Jakarta Timur. Berbeda dengan Donny putra pertamaku, sejak lulus kuliah dia sulit mendapatkan pekerjaan. Sekalinya pekerjaan yang ia dapatkan dan ditempatkan di luar pulau. Istrinya tidak kuat ditinggal-tinggal. Untuk membantu keadaan ekonomi anakku yang pertama ini. Aku dan mereka (Donny&Sinta, Red) berbagi modal untuk membuat usaha warung makan, kerna Sinta pintar memasak.

Lima tahun sudah usia pernikahan anak pertamaku. Dan dewi pun masuk ke taman kanak-kanak. Sekolah yang cukup elit, biayanya cukup mahal. Belum lagi menantuku Sinta mendaftarkan dewi setiap les yang ada disekolah. Entahlah, memang untuk kebaikan dewi, tapi keuangan mereka tidak mencukupi. Jadi aku supply biaya sekolah dewi. Bahkan tak hanya itu untuk beli susu dewi dan Edo aku yang belikan. Aku senang melakukannya, hanya dalam pikiranku, mengapa Sinta tak bisa mengatur keuangan keluarganya sendiri. Sejak kami (Sinta & aku, Red) membuka warung makan tidak jauh dari tempat tinggalku, anak-anak (Dewi & Edo, Red) sering dititipkan dirumah, karena saat itu Sintalah yang menjaga warung makan, aku yang merawat anak-anak dirumah. Sesampainya Sinta dirumah, ia tak menyentuh anak-anak. Saat anak-anak memanggil “mama !!” Sinta menjawab, “Mama capek, jangan ganggu mama ya.” Sinta berlalu dan pergi tidur. Tak sedikitpun ditanya apakah anak-anak sudah makan, sudah mandi, ada PR sekolah atau tidak. Tak hanya itu, aku tahu mereka (Donny & Sinta, Red) capek, tiap hari aku cucikan baju mereka. Aku tak mengeluh akan hal itu. Keadaan ini terus berulang sampai satu tahun.

Tepat diakhir tahun ini, putri tunggalku dipinang oleh seorang pria. Merekapun menikah. Rasa tangis tak tertahankan tertumpah saat itu. Anakku telah menjadi milik orang lain kini (Beda rasanya menikahkan seorang anak pria, dengan anak wanita) Namun hatiku lega karena aku tau, Gilang adalah seorang pria yang bertanggung jawab. Tak sepeserpun uang kukeluarkan dari tanganku. Semua biaya pernikahan oleh Gilang. Dia menabung dengan ulet, sedikit-demi sedikit sampai mencukupi semua biaya pernikahan mereka. Bahkan rumah yang baru selesai dibangun telah disiapkannya (Gilang, Red) untuk keluarga kecil mereka. “Mama, jangan menangis. Aku sayang mama” ungkap Gina dihari pernikannya padaku.

Sebulan kemudian, Gina dinyatakan positif hamil oleh dokter. Kabar bahagia ini lagi-lagi membuatku semakin bangga pada putra-putriku. Tapi, kondisi Gina tidak begitu baik memasuki usia kandungan 5 bulan. “Banyak flek, dan posisi janin ada dibawah. “Kamu harus banyak istirahat dan kalau bisa tidak usah bekerja” Kata Dokter. Karena Gina takut, akhirnya gilang menyuruhnya untuk resign saja dari tempat kerjanya demi kesehatannya dan jabang bayi. Karena khawatir, aku meminta Gilang&Gina tinggal dirumahku, paling tidak sampai ia melahirkan. Mereka setuju. Sejak Gina&Gilang menikah, Donny dan keluarganyapun tinggal dirumah karena rumah yang pernah kuhadiahi tidak terurus dan sudah beberapa bulan listrik dirumah Suamiku yang bayar, ya papa mereka. Jadi, saat ini ada tiga keluarga yang tinggal dirumah. Aku dan papa mereka, donny dan Sinta, serta Gilang dan Gina. “Rumah ini terasa ramai kembali” ungkapku dalam hati. Namun inilah awal masalah dalam keluargaku.

Menginjak usia tujuh bulan, keadaan Gina belum membaik, kandungannya lemah. Ia banyak menghabiskan waktunya dikamar. Saat itu pula, keadaan warung makan yang dikelola oleh Sinta mengalami penurunan drastic. Sinta dan Gina jarang berkomunikasi. Hanya pagi jika bertemu dimeja makan atau jam makan malam ditempat yang sama. Saat kondisi keuangan Sinta dan Donny sedang merosot-merosotnya., Sinta malah menghabiskan persediaan uang yang ada tanpa keperluan yang jelas. Kesalon, meluruskan rambut, beli cream-cream perawatan wajah dll. Hampir seminggu 2 kali dia kesalon untuk mempercantik rambutnya. Di smoothing lah, di creambath lah, aku tak mengerti istilah-istilah itu. Pulang kerumah anak-anak diambaikan. tidak ditanya, tidak dimandikan, semuanya seolah-olah mengandalkan aku. Aku senang merawat cucu-cucuku tapi tetap ada tanggung jawab Sinta sebagai ibu mereka. Bahkan, dia lupa atau entahlah untuk membelikan mereka susu bulanan, lagi-lagi aku yang mengurus hal-hal itu. Hingga suatu malam, Sinta mengeluh “ Ah, capek, stress, saya tidak ada uang lagi. Belum bayar uang sekolahnya Dewi bulan ini” Oia ma, tadi siang aku baru saja meluruskan rambutku lagi karena kemaren masih ada yang keriting.” Beberapa saat aku bisa menahan mulutku untuk tidak bicara, tapi dia terus saja mengoceh. Akhirnya kesabaranku mulai habis. “Cukup Sinta !! Dari tadi kamu hanya mengeluh. Kamu bilang tidak punya uang, belum bayar sekolah Dewi bulan ini. Tapi mama heran, uang untuk kesalon, untuk meluruskan rambut kamu punya ?!?. Sudah cukup !! Selama ini mama coba diam. Anak-anak tidak pernah kamu tanya, tidak kamu urusi makanan dan minuman mereka. Selepas pulang dari warung makan, kamu hanya mengeluh. Mama capek wi, do. Kalian jangan nakal yah, mama mau tidur dulu” geramku saat itu. “ Apakah kamu pernah tahu, kalau dewi menangis, dia bilang kapan aku dipeluk mama? Kapan mama (Sinta, Red) temani aku kerjakan PR. Mama tak pernah mengeluh kalau pakaianmu saja mama yang cucikan walau saat mama sakit, tapi apa itu pantas? tapi tolong perhatikan anak-anakmu, mereka butuh kamu sin” tambahku.

………….tapi tolong perhatikan anak-anakmu, mereka butuh kamu Sin” tambahku.

Suasana hening seketika. Aku tak tahan, air mataku jatuh. Hatiku sakit karena harus mengatakan semua itu pada menantuku. Tapi, aku mau dia tidak bersikap demikian. Beberapa hari kami tidak bertegur sapa. Sintapun hanya diam. Hingga saatnya saat kami (Aku dan Gina, Red) sedang nonton TV, Gina bertanya padaku “Ada apa sih Ma? Gina lihat beberapa hari ini mama murung dan tidak ngobrol dengan Sinta.” Belum juga kujawab pertanyaan Gina, Sinta pulang dari warung makan dan mungkin mendengar pertanyaan Gina. Tiba-tiba Sinta merongrong “ Oh, ini semua gara-gara kamu Gin !!! Sejak kamu tinggal disini, mama jadi marah padaku. Kamu tidak melakukan apa-apa tapi mama tidak marah !! Aku tahu kamu sedang hamil, tapi ya gitu jugakan hanya diam !! Oh aku tahu, kamu mau menguasai mama dan seisi rumah inikan ?!?” Seketika itu juga Gina menangis dan berjalan menuju kamarnya karena tak menyangka Sinta berkata demikian, padahal dia (Gina, Red) tidak tahu apa-apa. Isak tangiskupun merebak, aku tak memperdulikan Sinta saat itu, aku menyusul Gina ke kamarnya dan mencoba menenangkan hatinya. “ Sudahlah Gin, jangan pedulikan perkataannya.” Ucapku pada Gina. “ Tapi ma, aku tidak terima dia berkata demikian. Mama tahu pasti kenapa aku ada disini sekarang. Mama sendiri yang memintaku disini karena kandunganku bukan? Aku akan pulang kerumahku saja.” Jawab Gina sambil menangis. Jawabku lagi “Ya anakku, aku ingat itu. Ini adalah rumah papa dan mama. Aku berhak menentukan siapa saja yang boleh tinggal dirumah ini, siapapun !! dan tak ada seorangpun yang keluar dari rumah ini. Sudah ya, nanti dede dalam perutmu sedih J” kata-kataku menenangkan Gina.

Berhari-hari kondisi ini terus bertahan dirumah ini. Akhirnya Donny tahu soal ini. Kesedihanku semakin memuncak ketika Donny bersikap kasar dan mengatakan “ Mengapa mama memarahi Sinta, membentaknya pula. Tidak seharusnya mama bersikap seperti itu. Malahan membela Gina lagi. Kalau mama tidak suka kami tinggal disini, bilang saja. Kami akan keluar dari rumah ini.” Tak ada kata-kata yang dapat keluar dari mulutku, hanya isak tangis yang tak berhenti. Aku sedih karena anakku membentakku tanpa tahu duduk permasalahannya. Aku sangat sedih. Diam itu cara yang mereka pilih. Tak tahan rasanya aku harus seperti ini terus. “Apa aku harus minta maaf pada mereka ? Aku hanya mengingatkan Sinta supaya berubah” keluhku dalam hati. Ketegangan ini terus berlanjut. Namun aku sudah tidak tahan dengan situasi ini, akhirnya aku menyapa Sinta duluan dan meminta maaf. Ya, walaupun dengan nada ketus ia menjawabku. Begitupun dengan Gina, ia mencoba melupakan apa yang dikatakan Sinta dan menganggap kata-kata itu tak pernah terucap. “Aku sedang hamil, aku tidak mau menyimpan rasa benci pada siapapun termasuk pada Sinta” ungkapku (Gina, Red). Namun keadaannya tidak juga membaik.

Selama dua minggu kondisi ini tidak pernah berubah. Hanya satu kali sinta berkata padaku, itupun soal rencana kepindahan mereka ke rumah kontrakan baru mereka. Namun, saat itu ia tidak memberitahukan tepatnya kapan. Hingga suatu malam, kira-kira pukul 22.00 WIB, disaat aku sudah tidur, ternyata ada suara mobil keluar. Ups, ternyata itu mobil mereka keluar dari rumah. Lalu aku berlari ke kamar mereka, Donny, Sinta, Dewi dan Edo tak ada dikamar plus semua barang-barang mereka. “Apa artinya ini ? mengapa mereka pergi tidak pamitan ? Apakah mereka mau menyakitiku lebih dalam?” Rintih tangisku. Tak bisa kubendung air mata ini, semalaman aku menangis, tak bisa kuterima dengan akal pikiranku. Hatiku sakit, anak yang kuasuh dengan tanganku, yang kubelai dan kubesarkan tega melakukan semua ini.

Berhari-hari, aku hanya memikirkan dimana letak kesalahanku. “Bukankah aku sudah meminta maaf pada Sinta.” Tanyaku. Karena tak kunjung juga mereka dapat kuhubungi dan merekapun tidak menghubungiku. “Terlalu menyakitkan kau melakukan ini padaku nak !” ratapku. “Apakah ini balasannya padaku?” kata-kataku dalam tangis. Kekangenanku pada mereka terlebih pada cucu-cucuku tak tak terbendung lagi. Setelah satu bulan lamanya, akhirnya kuminta papa (Suami, Red) untuk mendatangi Dewi disekolah. Dan ternyata hanya kesia-siaan belaka, karena ternyata Dewi sudah beberapa hari ini tidak masuk sekolah. “Apakah dia sakit? Apakah dia pindah sekolah” tanyaku. Hatiku semakin galau, semakin tak kumengerti. “Sebenci apakah mereka padaku? Sesalku dalam hati. Hari berikutnya, papa kesekolah lagi, akhirnya dia dapat menjumpai Dewi. Kurus, murung itulah Dewi saat ditemui. Saat papa ajak ke rumah, dia (Dewi, Red) hanya mengatakan “Mama bilang dewi dan Edo tidak boleh lagi ke rumah kakek dan nenek”. Seketika itu, papa menangis dan memeluk dewi. “Kenapa ini terjadi pada keluargaku ya Tuhan ?” ucap papa. Saat itu, papa hanya bisa menikmati kebersamaanya dengan dewi walau hanya beberapa saat saja.

Sepulangnya dirumah, papa tampak murung. Saat menjelang malam, ia jatuh sakit. Suhu badannya naik. Mungkin ini akibat pertemuan dengan dewi siang tadi dan larangan yang SInta berikan pada cucu-cucuku. Keeseokan harinya penyakitkupun kambuh. Asam urat, kaki dan tanganku sulit untuk digerakkan. Gina dan Gilang akhirnya membawaku ke rumah sakit dan aku harus menjalani rawat inap. GInamelayangkan pesan singkat pada Sinta, dengan harapan dapat menjenguk mama di Rumah sakit. Selama di RS aku menanti kedatangan mereka (Donny sekeluarga, Red) selama penantian aku hanya bisa menangis dan berharap mereka kembali dan semuanya dapat baik seperti semula. Tapi harapan tinggal harapan, hanya sebuah sms yang melayang ke handphoneku dari mereka, ya tanpa kehadiran mereka disampingku. Hatiku semakin tersayat. Hingga kepulanganku ke rumah, tak juga mereka menampakkan diri dihadapanku. “Kapankahkah tangisan ini akan segera berakhir? Inikah yang kudapat dari anakku sendiri?” ucapku. “Mungkin penilaianku salah soal Sinta. Wajahnya yang cantik, tidak memancarkan kecantikan hatinya. Namun yang kusesalkan adalah Donny yang ikut menyalahkanku dan memilih memusuhiku. Apakah kebanggaanku pada mereka akan hilang? Sekali-sekali tidak. Apakah aku akan berbalik membenci mereka ? sekali-sekali tidak. Dalam darahnya mengalir darahku, bagaimanapun Donny adalah putraku, Sinta wanita yang telah menjadikanku seorang nenek. Kasihku tak akan berkurang untuk mereka.” Keluh dan harapku dalam hati. Kuharap tangisan ini, bisa berbicara dan membawa mereka kembali.

No comments:

Post a Comment