Satu ketika yang menjadi hari tidak kuduga sebelumnya, ia mulai menyapaku dan sapanya pun begitu indah ditelingaku. Banyak hal yang dia singkapkan lebih dari semua penilaian ku terhadapanya.
Terkadang persamaan membuatku semakin respect dengannya, namun aku ingin belajar mengenali setiap perbedaan antara aku dengannya. Namun, sepertinya rasa dihati sudah melebihi arti dari sebuah pertemanan.
Sulit untuk aku membohongi perasaan dan pikiran yang berkali-kali memikirkannya.
Malam setelah perbincangan kami, aku hanya menatap pada cermin dan
mencoba untuk berfikir bahwa aku tidak sedang mencintainya lebih, dan cukuplah perasaan ini sebagai teman. Rasanya terlalu perih jika aku melupakannya dan lebih perih jika aku terus memelihara perasaan yang lebih. Dan sepertinya semuanya hanya tergantung padaku. Disatu sisi aku merasa bahwa aku dapat memberikan kasih yang tulus untuknya, namun…..hhhhh..lagi-lagi sulit untuk menghentikan air mata yang mengalir.
Siang itupun datang, disebuah tempat dimana kita tidak berjanjian namun aku bertemu dengannya. Senyumnya yang tulus membuat saya ingin membalas dengan senyuman terlebarku, karena begitu senangnya. Namun yang terjadi sebaliknya, aku tidak melemparkan sedikit senyuman pun terhadapanya, karena alasan yang begitu kuat dihatiku..namun ini begitu cukup membuat aku menyesal. Beberapa jam kemudian, dia datang menghampiriku dan menyapa..dan lagi-lagi kataku dalam hati ‘Tuhan, tolong perasaanku ini..’ dan detik itupun aku hanya tersenyum biasa dan pergi untuk berbincang dengan teman yang lain.
Mungkin kamu berpikir, mengapa aku membohongi perasaanku sendiri. Atau bahkan kamu menyebutku “munafik” yah..terserah, kalau memang begitu, karena kamu tidak tahu alasan dalam hatiku.
Suatu malam yang kelam menghantarkan aku pada posisi sulit memejamkan mata dan berlari pada mimpi.
Aku berkata dengan suara ragu dan gelisah ‘mengapa aku harus mencintainya?’ saya belajar mengungkapkan isi hati kepada Pencipta ,
dan aku berkata dalam kamar yang hening karena pekatnya malam dan akhirnya sebuah kalimat mengakhiri malam itu
“saya tidak mencintainya”
Namun pagi yang datang lagi-lagi membuatku terdiam
mengingat kalimat yang kuucapkan tadi malam. Suatu waktu aku datang kesebuah tempat, dan aku tahu dia pasti ada disana.
Tetapi tujuanku bukanlah untuk menemuinya, karena aku memang memilki kepentingan ketempat itu.
Tanpa disadari setelah urusanku sudah selesai, tetapi aku tetap duduk tenang ditempat itu,
meski menit terus berlalu. Seharusnya aku langsung bergegas pulang dan melanjutkan aktivitasku diluar sana, tetapi lagi-lagi aku tidak bisa membohongi keinginanku untuk melihatnya.
Pikirku “beberapa saat lagi dia akan lewat dihadapanku, dan pasti menyapaku”.
Dan tepat setelah saya berpikir demikian, detik itu juga dia lewat dihadapanku, tapi lagi-lagi aku berlaga bodoh.. aku hanya melihat sepatunya karena kepalaku yang tertuduk, dan sebelum dia sempat menyapaku aku langsung bergegas pergi tanpa mendengar sapanya. Dimobil aku hanya terdiam dan memaksa diriku untuk tidak menangis, tetapi paksaan itu hanya berlaku lima menit saya dan air mata kembali mengalir.
Apakah yang kamu pkirkan mengenai perasaanku. Kamu cukup tidak mengerti mengenai sebuah perasaan yang tulus dan sulit untuk membuangnya. Tidak ada pertolongan dari seorang pun yang kuharapkan. Dan mungkin jika ini menjadi kisamu, kamu akan menjadi seorang yang “munafik” sepertiku.
Mungkin…
Aku tau, hanya Pencipta dan diriku sendiri yang bisa melupakan perasaan ini. Seminggu berlalu dengan kebohonganku dihadapanya, namun baru kusadari begitu lelahnya aku dengan langkah kebohonganku. Dan satu janji akhirnya kumunculkan dalam hatiku bahwa “cukup sampai disini, aku tidak akan meneruskan perasaan ini..sebelum semuanya menjadi kehancuran.”
Cukup berat namun ini menjadi yang terbaik untuk aku juga dia.
Dan malam yg hening menghantarkan air mataku
untuk berkata kepada Penciptaku :
“Tuhan, tolong aku supaya mulai malam ini aku dapat memiliki perasaan sebagai teman saja kepadanya, dan biarkanlah dia bahagia dengan pasangannya yang sudah lama bersama denganya.”
Terkadang persamaan membuatku semakin respect dengannya, namun aku ingin belajar mengenali setiap perbedaan antara aku dengannya. Namun, sepertinya rasa dihati sudah melebihi arti dari sebuah pertemanan.
Sulit untuk aku membohongi perasaan dan pikiran yang berkali-kali memikirkannya.
Malam setelah perbincangan kami, aku hanya menatap pada cermin dan
mencoba untuk berfikir bahwa aku tidak sedang mencintainya lebih, dan cukuplah perasaan ini sebagai teman. Rasanya terlalu perih jika aku melupakannya dan lebih perih jika aku terus memelihara perasaan yang lebih. Dan sepertinya semuanya hanya tergantung padaku. Disatu sisi aku merasa bahwa aku dapat memberikan kasih yang tulus untuknya, namun…..hhhhh..lagi-lagi sulit untuk menghentikan air mata yang mengalir.
Siang itupun datang, disebuah tempat dimana kita tidak berjanjian namun aku bertemu dengannya. Senyumnya yang tulus membuat saya ingin membalas dengan senyuman terlebarku, karena begitu senangnya. Namun yang terjadi sebaliknya, aku tidak melemparkan sedikit senyuman pun terhadapanya, karena alasan yang begitu kuat dihatiku..namun ini begitu cukup membuat aku menyesal. Beberapa jam kemudian, dia datang menghampiriku dan menyapa..dan lagi-lagi kataku dalam hati ‘Tuhan, tolong perasaanku ini..’ dan detik itupun aku hanya tersenyum biasa dan pergi untuk berbincang dengan teman yang lain.
Mungkin kamu berpikir, mengapa aku membohongi perasaanku sendiri. Atau bahkan kamu menyebutku “munafik” yah..terserah, kalau memang begitu, karena kamu tidak tahu alasan dalam hatiku.
Suatu malam yang kelam menghantarkan aku pada posisi sulit memejamkan mata dan berlari pada mimpi.
Aku berkata dengan suara ragu dan gelisah ‘mengapa aku harus mencintainya?’ saya belajar mengungkapkan isi hati kepada Pencipta ,
dan aku berkata dalam kamar yang hening karena pekatnya malam dan akhirnya sebuah kalimat mengakhiri malam itu
“saya tidak mencintainya”
Namun pagi yang datang lagi-lagi membuatku terdiam
mengingat kalimat yang kuucapkan tadi malam. Suatu waktu aku datang kesebuah tempat, dan aku tahu dia pasti ada disana.
Tetapi tujuanku bukanlah untuk menemuinya, karena aku memang memilki kepentingan ketempat itu.
Tanpa disadari setelah urusanku sudah selesai, tetapi aku tetap duduk tenang ditempat itu,
meski menit terus berlalu. Seharusnya aku langsung bergegas pulang dan melanjutkan aktivitasku diluar sana, tetapi lagi-lagi aku tidak bisa membohongi keinginanku untuk melihatnya.
Pikirku “beberapa saat lagi dia akan lewat dihadapanku, dan pasti menyapaku”.
Dan tepat setelah saya berpikir demikian, detik itu juga dia lewat dihadapanku, tapi lagi-lagi aku berlaga bodoh.. aku hanya melihat sepatunya karena kepalaku yang tertuduk, dan sebelum dia sempat menyapaku aku langsung bergegas pergi tanpa mendengar sapanya. Dimobil aku hanya terdiam dan memaksa diriku untuk tidak menangis, tetapi paksaan itu hanya berlaku lima menit saya dan air mata kembali mengalir.
Apakah yang kamu pkirkan mengenai perasaanku. Kamu cukup tidak mengerti mengenai sebuah perasaan yang tulus dan sulit untuk membuangnya. Tidak ada pertolongan dari seorang pun yang kuharapkan. Dan mungkin jika ini menjadi kisamu, kamu akan menjadi seorang yang “munafik” sepertiku.
Mungkin…
Aku tau, hanya Pencipta dan diriku sendiri yang bisa melupakan perasaan ini. Seminggu berlalu dengan kebohonganku dihadapanya, namun baru kusadari begitu lelahnya aku dengan langkah kebohonganku. Dan satu janji akhirnya kumunculkan dalam hatiku bahwa “cukup sampai disini, aku tidak akan meneruskan perasaan ini..sebelum semuanya menjadi kehancuran.”
Cukup berat namun ini menjadi yang terbaik untuk aku juga dia.
Dan malam yg hening menghantarkan air mataku
untuk berkata kepada Penciptaku :
“Tuhan, tolong aku supaya mulai malam ini aku dapat memiliki perasaan sebagai teman saja kepadanya, dan biarkanlah dia bahagia dengan pasangannya yang sudah lama bersama denganya.”
No comments:
Post a Comment