Thursday, April 8, 2010

Mencari Ayah..by.Mpok Mercy Sitanggang



Menurut ayah, ibu terlalu manja. Menurut ayah, ibu tidak mandiri. Menurut ibu, ayah kurang pengertian.

Menurut ayah, ibu terlalu berlebihan. Alias lebay alias hiperbola.
" Dalam hal apa ? " complain ibu.
" Dalam hal apa saja. " Ayah membalas complain.

Ayah dan Ibuku selalu saja berantem, tidak kompak lagi seperti dulu.
Seperti malam ini, dari lubang kunci kamarku, aku bisa melihat ayah berdiri tegang di depan jendela ruang tamu. Handphone di tangan kiri menempel di telinga. Memegang rokok di tangan kanan, asapnya ngebul ( padahal, setau aku, ayah bukan perokok ) Mukanya merah. matanya membelalak seperti mau keluar.
aku Tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi terdengar sama - samar nada suara ayah yang ditahan seperti menahan amarah. Hingga akhirnya. Itu kali pertama ayah menutup telpon dengan membantingnya ke lantai. duh.. handphone mahal kepunyaan ayah, hancur...

Aku kaget.
Aku keluar kamar.
Memeluk ayah dari belakang.

Ayah terbata bercerita, malam ini. Ayah tidak bisa menjemput ibu. Kata ayah lagi, ibu jalan sendiri keluar kantor kehujanan dan menerima telpon dari ayah dengan muka yang sama merahnya dengan muka ayah ( mungkin bisa lebih merah lagi ) dan berteriak keras di telpon.
Kata ayah, mulai sekarang ibu mengunci mulutnya untuk ayah.
" ibu marah... marah sekali.. " kata ayah.
" ibu cemburu.. karna ayah tidak datang menjemput.. " ayah berkata lagi.


Aku menyuruh ayah jongkok ( supaya tinggi kami sama ), aku memeluk ayah. ayah balas memeluk aku.
Aku berbisik tepat di telinganya, " Sabar ya ayah.. ayah lebih mengenal ibu dari pada aku.. " lalu ayah mengacak rambutku. Kemudian pergi mencuri bantal dari kamarnya dan mencumbui sofa.
Ayah tahu. Ibu tidak akan cemburu pada sofa.

Tidak sampai lima menit. Ayah sudah mengorok. Aku masih terjaga, tidak bisa tidur. Duduk manis di tempat tidur, sambil menunggu ibu. Pulang kerja.

ketika kantuk mulai menyerang, dan kepalaku mulai terantuk ujung meja. kudengar Pintu gerbang dibuka.
Aku menunggu ibu masuk.
Masih dari lubang kunci kamarku, hati – hati aku mencuri pandang ke luar. Ibu berdiri di depan pintu. Basah. Kehujanan.

Aku keluar kamar.
Memeluk ibu dari depan. Membiarkan bajuku basah seperti baju ibu.
ibu terbata bercerita, malam ini. Ayah tidak bisa menjemput ibu. Kata ibu lagi ( sekarang sambil menangis ) ibu jalan sendiri keluar kantor kehujanan dan menerima telpon dari ayah dengan muka yang merahnya ( sama merahnya dengan muka ayah ) dan berteriak keras di telpon.
Kata ibu, mulai sekarang ibu mengunci mulutnya untuk ayah.
" ibu marah...!!! marah sekali .." kata ibu sambil teriak.
" mungkin ayah mau cari ibu yang lain.. ibu cemburu.. !! " ibu berkata lagi, masih sambil teriak. sekarang ditambah dengan tangisan.

Aku menyuruh ibu jongkok ( supaya tinggi kami menyerupai ), aku memeluk ibu. ibu balas memeluk aku. Air matanya menempel di pipiku.
Aku berbisik tepat di telinganya, " ibu yang sabar yaahhh.. ibu pasti lebih mengenal ayah dari pada aku.." . lalu ibu mencium keningku. Melirik ayah yang sedang tidur manis menciumi sofa. Kemudian pergi masuk kamar dan membanting pintu.
Ibu tahu. ayah lebih mencintai sofa.

Mungkin karena aku anak pertama. Aku cukup tahu, cukup sadar, cukup mengerti, apa yang sedang terjadi.
Aku lebih dekat dengan ayah.
Mungkin karena ayah lebih banyak di rumah.
Mungkin karena setiap hari disuapi makanan ayah.
Mungkin karena setiap hari ayah selalu mengajakku bercerita. Tentang apa saja. Ayah itu temanku. Ayah itu sahabatku. Ayah itu akan jadi juri yang terbaik dalam kontes pemilihan pacarku nanti ( kontes yang akan mengalahkan segala kontes apapun, melebihi yang sering ditayangkan tivi ).

Aku dekati wajah ayah di sofa. Melihatnya tidur. Mengambil tangannya dan membuang ciumku di punggungnya.

Semenjak ayah sering di rumah, semenjak ayah setiap hari selalu menyuap makanan di mulutku dan semenjak ayah selalu memangkuku dan mengajakku bercerita, ibu mulai aneh.
Pandangan ibu ke ayah seperti pandangan ibu ke manto tukang kebunku. Atau seperti pandangan ibu ke tina pengasuhku.
Ibu yang sibuk. Ibu yang selalu memeluk blackberrynya. Ibu yang pergi di saat matahari masih malu – malu munculnya sampai ibu yang pulang ketika bulan bercinta dengan bintang.
Walau begitu, ayah tidak pernah bosan menemaniku di rumah, menyuapi aku, bercerita sampai aku tidur. Memelukku terus, sampai baunya menempel di badanku, sementara bau ibu sudah bercampur dengan wangi parfum mahal dri luar negeri.
aku rindu harum tubuh ibu yang sebenarnya.

Malam ini. Aku mau tidur di samping ayah. ikut mencumbui anak sofa. Aku yakin ibu tidak akan cemburu.
Aku tidur di sofa juga samping ayah.
Selamat Malam ayah.. Selamat istirahat ibu... Semoga mimpi yang indah.

***

Udara pagi segar masuk ke dalam rumahku yang semakin hari semakin panas hawanya.

Sudah 3 hari setelah peristiwa itu. ibu tidak bicara dengan ayah. ayah juga tidak mau mendahului bicara. Ayah tidak lagi menunggui ibu pulang. Ibu bahkan semakin sibuk. Tidak pernah dijemput ayah lagi. Pulang pergi kantor sendiri. malah pernah juga tidak pulang.

Aku kuatir sama ibu, Sudah beberapa hari ini, selalu pulang terlalu malam. aku beranikan diri menghubungi ibu di handphonenya. Suara ibu terdengar parau, sedikit gelisah.
Menurut ibu, dia lebih suka berlama di ruangan kantornya. Terus bekerja, sementara semua karyawan sudah pulang. Ibu jadi karyawan terakhir yang mengunci pintu kantor. Begitu terus. Setiap malam. Padahal aku tahu kalau ibu super penakut. Tapi rasa marah membungkam ketakutan.
" Ibu pulang dong... sudah malam " pintaku di telpon.
" Ogah... " kata ibu singkat. terlalu singkat menurutku.
" Terus pulangnya kapan ? " tanyaku lagi.
" Ketika orang rumah sudah lama bermimpi.. baru ibu pulang.. tidurlah duluan.. " jawab ibu.
Aku tutup teleponnya.

Aku kuatir sama ayah. Beberapa hari ini, selalu ada di luar, entah kemana ? membawa map dan pakaian yang agak rapi. cekatan aku menghubunginya. Suara ayah lebih tegar tapi penuh beban.
Menurut ayah, dia lebih baik di luar rumah. Setidaknya tidak ada yang mengomeli atau memberikan tatapan rendah. Kata ayah lagi, ayah mencari kenyamanan. Dan itu bukan di rumah. Ayah memang sedang tidak bekerja. Tapi bukannya tidak mau bekerja. Setiap hari ayah selalu berusaha. Padahal aku tahu kalau ayah tidak suka sedirian. Sama seperti ibu penakutnya. Tapi rasa marah membungkam ketakutan.
" Ayah pulang dong.. sudah malam tauu.. " pintaku di telpon.
" Iya sayang.. " kata ayah menyejukkan.
" Kapan ? " tanya aku lagi penuh harapan.
" Nanti, kalau ibu sudah mau bermimpi lagi dengan ayah..." jawab ayah.
aku tutup teleponnya.


Malam ini, rinai hujan deras membasahi bumi, aku berdiri di depan jendela, memandang keluar dengan derai air mata.
Aku sendirian. Ibu belum pulang. Ayah tidak mau pulang. Siapa dari mereka yang akan pulang duluan ?
Aku janji. Aku tidak akan tidur, sampai mereka pulang.

Ibu mencintai ayah. tapi gengsi.
terbukti, selama marahan. setiap siang ibu mencuri telpon ke siti pembantu kami. Tidak mencari ayah memang, tetapi tetap mencari tau tentang ayah.
tetap memastikan kalau makanan hangat untuk ayah selalu lengkap terhidang. Dan selalu mengingatkan siti untuk tetap tidak lupa membuat mengkilap mobil ayah. siti wakil mulut ibu. Ibu tetap seorang ibu. Tapi mungkin bukan isteri lagi. Itu kata ibu.
Aku menggeleng.

Seminggu setelah peristiwa besar ibu dan ayah itu.
Ibu masih sering telat pulang. Tapi selalu pulang.
Sementara ayah, sudah tidak pulang.
Ayah pergi.
Ayah tidak lagi bersamaku. Ayah tidak lagi menyuapiku. Ayah tidak lagi bercerita.

Semakin kuat aku menarik tangan ibu untuk mencari ayah.
Semakin kuat ibu melepas tanganku, menolak mencari ayah.

Aku butuh ayah.
Aku takut sendirian di rumah. Aku tidak nafsu makan dan aku tidak bisa tidur tanpa cerita ayah.
Setiap malam, aku tidur di tempat ayah biasa tidur. Mengendusi bau badannya yang menempel di sana. Menggantikan ayah mencumbui sofa.
Aku yakin ibu tidak akan cemburu.

" Kenapa ayah pergi ibu ? " tanyaku suatu sore ketika tumben ibu pulang cepat dari kantor.
Ibu diam.
" Ibu boleh mengunci mulut ibu untuk ayah. tapi apakah ibu kunci juga untuk aku ? " tanyaku lagi sambil menangis terisak.
Ibu masih diam. Lalu berlari masuk ke dalam kamar.

Mana mungkin ibu marah hanya karena ayah tidak bisa menjemput. Kenapa ayah selalu nampak kalah dibanding ibu. Bukannya di sekolah selalu diajarkan kalau seorang ayah itu tingkatnya paling tinggi di rumah. Harus dihormati. Kenapa ibu tidak melakukan itu ?

Sebenarnya aku tahu ibu, kenapa ayah pergi.
Malam itu di malam yang sama. Malam ketika ibu kehujanan karena ayah tidak menjemput. Dan malam ketika ayah mulai hari pertamanya tidur di sofa. Malam ketika aku tidur menemani ayah di sofa. Ibu membangunkan aku. Dan menyuruh aku masuk ke dalam kamarku.
Masih dari dalam lubang kunci, aku melihat semua.
Memang ada laki – laki di rumahku. Tapi dia bukan ayah. ayahku tidak seperti itu. ayah sedang marah. Marah besar dengan ibu. Karena sebuah kata sudah terucap dari mulut ibu. Membuat ayah terluka. Kata ibu ayah benalu. Tidak bekerja tapi pasrah pada ibu.
Dari lubang kunci, air mataku keluar kamar. Menyatu dengan air mata ayah. mata ibu tidak berair tapi menyala.
Ingin rasanya aku keluar dan memeluk ayah.
Aku menahan sedih yang luar biasa dengan menggigit bibirku.

Dan aku tidak menyangka, kalau malam itu menghantar kepergian ayah dari rumah. Sampai sekarang.
Menurut aku Ini fase paling parah dari proses berjalannya waktu dalam kehidupan kami.
Bertiga.
Ayah dan ibu.
Biasanya, sebesar apapun masalahnya. Ayah dan ibu selalu punya cara untuk akhirnya kembali tersenyum berdua.
Tapi sekarang.
Tidak ada cara. Bahkan untuk mencari ayah.
Aku ingat. Setiap kali ada acara keluarga besar kami. Semua orang pasti mengacungkan jarinya, ketika ada pertanyaan, siapa pasangan suami isteri yang paling kompak ? mereka tahu semua. Kalau pasangan itu. Ibu dan ayah. tapi itu dulu, sebelum mati dan dikubur.

Malam ini hujan. Aku benci hujan. Karena hujan, ayah tidak bisa menjemput ibu, ibu pulang sendiri dan marah.
Malam ini aku dan ibu sama – sama memperhatikan hujan. Sampai ke titik jatuh airnya. Iramanya begitu sendu. Aku tahu ibu mau bercerita kepadaku. Kami berdua menempel di jendela, saling membuang pandang ke depan. Titik – titik air itu seolah berubah menjadi nama ayah.
Akhirnya ibu angkat bicara, ibu tidak ingat kapan percisnya mulai gencatan senjata dengan ayah. ibu betul – betul tidak ingat kapan tepatnya ibu mulai membuang pandangan ibu terhadap ayah dan mengunci rapat – rapat mulut ibu. Apakah setelah peristiwa kehujanan itu atau mungkin jauh sebelumnya ?
Kata ibu mungkin ini yang namanya bom waktu ?

Ibu teringat suatu cerita, awal dari sebuah luka, terjadi jauh sebelum peristiwa hujan. Kami pergi bertiga. Di dalam mobil, ibu mencela ayah. ibu bilang, kalau nanti cari suami, cari yang sempurna, kaya dan baik hati. Setia. Pengertian. Mau menemani dan menjemput dimana dan kapan saja. Mau melakukan apa saja. Dan meletakkan diri kamu di atas segalanya. Tidak diperdaya, tapi ini bentuk cinta. Seorang isteri harus ada di atas bukan di bawah, apalagi kalau isteri yang bekerja. Suami itu harusnya duduk di kantor bukan di rumah menyuapi. Suami itu harusnya meeting bukan asik bercerita.
Sontak ayah menginjak rem. Hampir saja lampu merah dilewati.


Ibu bercerita sambil menahan nafas.
Kata ibu lagi, muka ayah merah nyaris berasap. Lalu gantian ayah mencela ibu . Ayah bilang, kalau nanti aku menikah. Aku harus jadi seorang ibu yang baik. Yang tenang, yang mandiri, yang sabar, yang tidak suka memperdayai, seorang isteri yang selalu ada di samping suami bukan di bawah atau di atas. Isteri yang ikut menyuapi anak-anaknya dan ikut membagi cerita setiap malam. Bukannya seorang isteri yang teriak dan menangis hanya karena tidak dijemput. ibu teriak. Ayah menginjak rem. Mobil berhenti.
" Mulut ibu kotor...!! " Begitu kata ayah.

Cinta mulai berganti benci.
ibu sedih bercerita, apalagi katanya hati mereka mulai terbelah.
Jiwa mereka tidak bersatu lagi.
Bejana satu hilang dari dapur untuk menampung air mata mereka.
Selesai bercerita ibu tidur.
Tidak di kamar seperti biasa.
Tapi di sofa, mungkin sambil mengendusi bau ayah.
Bersamaku. Berdua. kangen sama ayah.

Aku anak tunggal pasangan ayah dan ibu. Aku tahu mereka bermasalah. Aku tahu mereka dilanda nestapa.
Ayah dan ibu itu, seperti sebuah paket yang tidak bisa dilepaskan.
Ibu ingin memeluk ayah. Ayah menjauh. Ayah ingin memeluk ibu. Ibu memilih berjarak. keduanya ingin sekali saling memeluk. Tapi sedang tidak mungkin. Lemnya sudah tidak menempel.
sekarang, Ayah tidak ada.
Ibu tidak mau mencari ayah. Kenapa orang dewasa selalu mengangungkan Ego ??

Aku tidak pernah mengundang air mata ini untuk datang. Tapi, suatu siang di hari minggu. Aku menangis menghampiri ibu. Rindu ini luar biasa hampir membunuhku.

" bu..SMS aku tidak dibalas ayah .. boleh aku telpon ayah ? "

Ibu menggangguk sambil memberikan handphonenya.
Aku pergi sambil menggantung harap.
Belum sampai 5 menit, aku kembali pada ibu dan kembali menangis.
" Ayah tidak mengangkat telponku... " teriakku menangis.
Aku tenggelam dalam pelukkan ibu.
Sampai hati ayah.
Ayah boleh benci ibu. Tapi tolong jangan jangan benci aku.
Ibu masih berdiri mematung menghadap jendela.
Aku datang memberi kunci mobil kepada ibu.
" untuk apa ? " tanya ibu.
" mencari ayah. " kataku pelan, masih dengan mata yang merah.
Ibu diam, tidak bereaksi apapun, tidak juga mengambil kunci dari tangaku. Dia masih jadi patung. menangis tapi sekarang sambil merokok.

Aku kecewa.
Aku berlari masuk kamar. Lantas membalut tubuh mungilku dengan pakaian Tuhan, dan membiarkan cahaya masuk ke dalam tubuhku. Memilih berdoa. memanjangkan sedikit waktu sholatku, menarik nafas berulang dan membiarkan berair matanya.
Mencari ayah lewat doa.
Cukup.
Aku tidak boleh menangis. Walaupun aku anak perempuan. Aku harus kuat. Jangan cengeng seperti ibu yang membiarkan ayah pergi. Dan cengeng seperti ayah, yang memilih pergi daripada menyelesaikan masalah.
" Mengapa hati ibu masih kaku ? " tanyaku tidak pernah bosan.
" tidak mau mencari ayah.." kata ibu dengan urat yang selalu menegang.
" harusnyah ayah kembali pada ibu.. kembali kepadaku..kenapa gengsi selalu jadi juara bu ? " jawab ku mencoba mencoba untuk selalu punya harapan.

****

Hari ini usiaku bertambah satu. Bahagia sekali. Kata ibu mukaku penuh cahaya. Mungkin karena semalaman berdoa.
Pagi ini, mukaku habis diciumi ibu. mataku terus mencari. Ibu seperti tidak peduli lagi. Dan tepat ketika kue hadiah dari ibu akan dipotong. Dan tepat ketika aku selesai mengucapkan permohonanku. Aku bahagia melihat ke pintu. karena ayah pulang. Mencium keningku. Tetapi melupakan kening ibu.
Sepanjang acara. Ayah dan ibu masih tidak bicara apalagi bercanda, seperti dulu.

Ibu melirik ke arah ayah. Ayah yang selalu disayang ibu mertua. Ayah yang selalu dianggap sebagai ayah terbaik di dunia. Ayah yang selalu membuat semua teman – teman ibu merasa iri. Ayah yang selalu dianggap pahlawan. Ayah yang setia. Ayah yang selalu dipilih oleh ku, setiap kali ada pertanyaan, siapa yang paling aku sayang, ayah atau ibu ? dan aku akan cepat menjawab.
Ayah.

Ayah melirik ke arah ibu. Ibu yang super sibuk. Wanita karir. Ibu yang cerewet. Ibu yang selalu ngomel. Ibu yang selalu punya banyak aturan. Ibu yang selalu bicara dengan nada teriak. Ibu yang selalu membuat ayah pucat kalau punya salah. Ibu yang selalu teriak, setelah sekarang ayah kehilangan pekerjaan akibat perusahaan ayah bangkrut. Dan tidak pernah suka ayah di rumah, menyuapi aku dan mengajakku bercerita. Ibu yang selalu makan lebih banyak dari pada ayah.

Menurut ayah, selalu ibu yang merasa benar. Ayah yang salah.

Tadi malam aku bahagia mendengar ayah tertawa. Kami tertawa. Aku tidak tahu apakah ibu cemburu, melihat kami. Aku menambahi umurku bersama ayah.
Sementara ibu memilih terkunci di kamar. Aku mengetuk kamar ibu. Berulang kali. Sampai akhirnya berlalu.
Semua orang menyalahkan ibu atas kepergian ayah. aku tahu seperti apa rasa ibu. Tapi aku memilih bercinta dengan ayah.
Mudah – mudahan ayah tidak memilih pergi ( lagi ).

Sang dewi malam semakin kian dekat menjemput. Meminta semua orang untuk segera terlelap.

Aku melihat ibu keluar kamar sambil berlariii..
Menangis.
" Mau kemana ibu ? " tanyaku menahan langkah ibu.
" Mencari ayah..." katanya tapi tidak menoleh ke belakang.
aku diam.
" Ayah kan ada di sini ibu... " kataku mengingatkan.

Ibu mematikan kakinya segera. Dan menoleh ke belakang.
Ibu melihat, Ayah masih mencumbui sofa.
Ibu cemberut.
Ibu cemburu.
Tapi Ibu berlari ke arah sofa.. lalu bergegas menciumi ayah. Ciuman yang kembali dibalas ciuman dan gelak tawa. Sama percis seperti waktu dulu. Aku sungguh bahagia, mereka sekarang mulai menciumi aku, aku tenggelam dalam bahagia. Kebahagiaan yang serasa mimpi.

Akhirnya malam ini, giliran sofa yang cemburu.
karna mulai malam ini, ayah tidak akan mencumbuinya lagi.

The end.
( untuk teman kecilku yang berbahagia karena ayah ibunya sudah bersatu lagi……. )

No comments:

Post a Comment